Chapter 5: CHAPTER 005: The Fugitive's Inner Turmoil
5.1: Echoes at the Edge of Dawn
Dawn had not yet completely washed away the remnants of the deepest night when Arok arrived back at the entrance of his hiding cave. The air still felt bitter to the bone, carrying with it the pungent scent of dew and the silence characteristic of the final hours before the world awoke. However, inside him, the atmosphere felt very different. In his chest, the fire that had just been ignited by his encounter with Brahmin Lohgawe blazed fiercely, expelling all the cold and leaving behind a burning turmoil. His face, usually as calm as the surface of a mountain lake, now looked even more stern than usual. His sharp eyes revealed a fierce inner struggle, as if within him was a fierce battle between two completely different worlds, between the destiny he knew and the destiny that had just been offered to him.
He didn't go straight into the cave, where the warmth from the campfire and the breath of his friends lingered. Instead, he stopped in the courtyard, at a point where he could see the entire area of their humble campsite. He stood in the shadow of a large boulder, becoming one with the darkness, watching his friends still sleep in their innocent, trusting sleep.
His gaze swept from one figure to another, recognizing them even in their dim silhouettes. There was Mahesa, snoring loudly, his muscular body curled up like a hibernating bear. There was the gaunt Kertu, sleeping with his bow in his arms as if it were his favorite pillow. There was Tanca, who even in his sleep sat cross-legged with his back straight, his deep, steady breathing a sign of a high degree of self-control. And there were dozens of other faces, faces of farmers, former soldiers, and outcasts who had placed their fates in his hands. Hard faces forged by suffering, yet harboring pure and selfless loyalty. Loyalty not bought with gold or position, but born of mutual respect and hope.
Suddenly, an invisible, sharp pain sliced through his heart. The pain was sharper than any sword wound.
"Killing your current self..."
Brahmin Lohgawe's words rang in his ears again, no longer as advice, but as a verdict. The mysterious echo refused to go away, continuing to swirl around in his mind. What did it mean to "die"? Did it mean he had to leave them all behind? To leave behind the people who had been his only family? The people who had shared their last piece of roasted sweet potato with him, who had tended his wounds when he fell, whose laughter was music in the silence of this wilderness?
Bagaimana ia bisa menjelaskan pada mereka? Bagaimana ia bisa menatap mata Mahesa yang penuh semangat dan berkata bahwa perjuangan yang selama ini mereka rintis bersama di lereng gunung ini, yang telah menjadi tujuan hidup mereka, ternyata hanyalah sebuah "jalan buntu"? Bagaimana ia bisa mengatakan pada mereka bahwa pahlawan yang mereka agung-agungkan akan segera pergi untuk menjadi "abdi" di istana musuh? Kata-kata itu terasa seperti racun di lidahnya bahkan sebelum ia mengucapkannya. Ia takut. Bukan takut akan bahaya di istana, tetapi takut akan tatapan mata mereka yang kecewa. Takut akan kehancuran kepercayaan yang telah ia bangun dengan susah payah.
Arok melangkah pelan, kakinya terasa berat seolah menginjak lumpur hisap. Ia berjalan menuju sebuah tungku api di tengah pelataran, yang apinya hampir padam, hanya menyisakan bara-bara merah yang berkedip-kedip lemah di antara tumpukan abu putih. Bara itu seperti mata iblis yang menatapnya dalam kegelapan, atau seperti sisa-sisa detak jantung dari sebuah perjuangan yang sekarat. Ia berjongkok, mengulurkan tangannya yang kapalan untuk merasakan kehangatan yang tersisa.
Bara api ini, pikirnya dalam hati, sama seperti perjuangan mereka. Tampak menyala, tampak memberikan kehangatan dan harapan di tengah malam yang dingin. Tapi ia rapuh. Jika tidak diberi kayu bakar yang baru, ia akan segera padam, ditelan oleh abu kelabu dari kekalahan dan keputusasaan. Dan kayu bakar itu, ia tahu sekarang, adalah sebuah rencana baru. Sebuah strategi yang radikal, menakutkan, dan menuntut pengorbanan yang tak terbayangkan. Dan untuk mendapatkan kayu bakar itu, untuk bisa menyusup ke jantung Tumapel, ia harus pergi. Sendiri.
Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya berjalan sendirian di jalanan kota Tumapel. Tidak ada lagi Mahesa yang berjalan di sampingnya dengan kesetiaan yang buta. Tidak ada lagi Tanca di belakangnya yang siap memberikan nasihat bijak. Ia akan benar-benar sendirian, dikelilingi oleh musuh yang tersenyum. Perasaan sepi yang luar biasa tiba-tiba menyergapnya, lebih dingin dari udara pagi di puncak gunung. Selama ini, ia tidak pernah menyadari betapa ia bergantung pada kehadiran mereka, pada kekuatan yang mereka berikan padanya. Mereka adalah jangkar yang menjaga kewarasannya, yang mengingatkannya akan tujuan perjuangannya. Tanpa mereka, apakah ia akan tersesat? Apakah ia akan lupa siapa dirinya dan menjadi salah satu dari mereka?
Sebuah ranting kering berderak di dekatnya, memecah keheningan dan lamunannya.
"Kau sudah kembali."
Sebuah suara serak dan berat mengejutkannya. Arok membuka mata dan menoleh dengan cepat. Tanca telah terbangun dan kini berdiri di belakangnya, hanya beberapa langkah jauhnya. Pria tua itu tidak mengenakan baju, membiarkan dadanya yang bidang dan penuh bekas luka terpapar udara dingin. Matanya yang tajam dan berpengalaman menatapnya dengan penuh selidik, seolah mampu menembus kegelapan fajar dan membaca langsung ke dalam jiwa Arok. Tanca adalah orang yang paling peka di antara mereka semua. Ia bisa merasakan perubahan sekecil apapun pada diri Arok, dari ritme napasnya hingga ketegangan di pundaknya.
"Aku tidak bisa tidur, Paman," jawab Arok, mencoba membuat suaranya terdengar biasa, sambil membalikkan badan dan kembali menatap bara api.
"Bukan hanya itu," sahut Tanca sambil berjalan mendekat dengan langkah mantap. Ia tidak duduk, tetapi berdiri di samping Arok, memandangi bara api yang sama. "Ada sesuatu yang berbeda padamu pagi ini. Aku terbangun bukan karena suara langkahmu, aku terbangun karena merasakan gejolak di jiwamu. Jiwamu terasa seperti lautan sebelum badai. Bergelombang hebat di bawah permukaan yang tenang. Kau tidak hanya berjalan-jalan di hutan. Kau bertemu seseorang, bukan?"
Arok terkesiap dalam hati. Kepekaan Tanca sungguh luar biasa, hampir seperti ilmu sihir. Berbohong padanya adalah sebuah kesia-siaan dan sebuah penghinaan terhadap kebijaksanaannya. Arok menghela napas panjang, sebuah napas yang terasa melepaskan sedikit dari beban yang menghimpit paru-parunya. Ia tahu, ia tidak bisa menanggung beban ini sendirian. Ia harus membaginya, setidaknya dengan orang yang paling ia percaya, dengan sosok ayah yang tak pernah ia miliki.
"Ya, Paman," jawab Arok pelan, suaranya kini terdengar berat dan lelah. "Aku bertemu seorang Brahmana tua. Namanya… Lohgawe."
Mendengar nama itu, tubuh Tanca yang tegap sedikit menegang. Ia menoleh cepat ke arah Arok, matanya yang tajam melebar karena terkejut dan sedikit gentar. "Lohgawe? Sang Pertapa Putih dari Puncak Kawi?" bisiknya, suaranya yang biasanya lantang kini terdengar penuh hormat. "Orang-orang suci di padepokan lamaku menyebut namanya dengan penuh rasa segan. Legenda mengatakan ia bukanlah manusia biasa. Ia adalah penjaga kebijaksanaan kuno, seorang yang telah mencapai pencerahan dan memilih untuk tetap tinggal di dunia untuk menjaga keseimbangan. Apa… apa yang ia katakan padamu?"
Arok menatap bara api di hadapannya, seolah mencari kekuatan dari sisa-sisa nyala api itu. Dengan suara rendah, ia menceritakan semua percakapannya dengan Brahmana itu. Ia menceritakan tanpa ada yang ditutupi. Tentang perumpamaan pohon beracun dan serigala. Tentang perlawanan mereka yang diibaratkan hanya memotong ranting. Tentang jalan takdirnya yang sesungguhnya terbentang di jantung istana Tumapel. Dan yang paling berat, tentang syarat untuk "mematikan" dirinya yang sekarang, meninggalkan semua yang telah ia bangun.
Arok bercerita seperti air bah yang akhirnya menemukan muaranya, melepaskan semua keresahan dan kebingungan yang telah menyiksanya. Semakin lama ia bercerita, semakin dalam kerutan di dahi Tanca. Pria tua itu mendengarkan dengan saksama, tidak menyela sedikit pun. Tangannya yang terkepal di sisi tubuhnya menunjukkan betapa tegangnya ia. Wajahnya yang keras tampak berpikir keras, menimbang setiap kata, setiap makna yang tersirat dari ajaran sang Brahmana. Gema di ambang fajar itu kini tidak hanya berputar di dalam kepala Arok, tetapi juga mulai bergema di dalam pikiran Tanca, membawa serta pertaruhan yang akan mengubah nasib mereka semua.
***
5.2: Harimau dan Laba-laba
Ketika Arok selesai bercerita, keheningan yang berat dan pekat kembali menyelimuti mereka berdua. Keheningan itu terasa lebih dalam dari keheningan hutan sebelum fajar. Hanya suara desis bara api yang perlahan-lahan mati dan napas mereka yang berat yang terdengar. Tanca tidak langsung berbicara. Matanya yang tajam menatap kosong ke arah bara api, namun Arok tahu, pikiran pria tua itu sedang bekerja secepat kilat. Ia sedang mencerna, menimbang, dan membedah setiap implikasi dari wahyu yang baru saja didengarnya. Wajahnya yang dipahat oleh kerasnya kehidupan tampak seperti peta dari sebuah pertempuran batin.
Akhirnya, setelah keheningan yang terasa seperti berlangsung sewindu, Tanca menghembuskan napas panjang. Kepulan uap putih keluar dari mulutnya, seperti asap dari gunung berapi yang lama tertidur.
"Ini adalah sebuah pertaruhan yang gila, Arok," desisnya pelan, suaranya serak dan berat. Ia akhirnya menoleh, menatap tajam langsung ke dalam mata Arok, seolah mencoba mencari sisa-sisa kewarasan di sana. "Bahkan kata 'gila' pun tidak cukup untuk melukiskannya. Masuk ke dalam sarang singa sama saja dengan menyerahkan nyawa di atas nampan perak. Istana Tumapel bukanlah tempat untuk orang seperti kita. Di sana, kehormatan tidak ada harganya. Kekuatan fisik hanya berguna bagi para penjaga gerbang. Yang berkuasa di sana adalah lidah yang manis, punggung yang lentur untuk membungkuk, dan pisau yang siap ditusukkan dari belakang saat kau sedang tersenyum."
"Aku tahu, Paman," jawab Arok, suaranya tenang namun di dalamnya terkandung sebuah keyakinan baru yang ia sendiri tak tahu dari mana datangnya. "Aku tahu semua itu. Tapi apa yang dikatakan Brahmana itu benar. Kita tidak bisa menyangkalnya. Perlawanan kita dari luar hanya akan menjadi gangguan kecil bagi mereka, seperti nyamuk yang mengganggu tidur seorang raksasa. Raksasa itu mungkin akan menepuk beberapa nyamuk hingga mati, tapi ia akan tetap tertidur pulas. Selama Tunggul Ametung masih duduk di singgasananya, penderitaan rakyat tidak akan pernah berakhir. Kita harus mencabut akarnya, Paman. Bukan hanya memangkas daunnya."
"Dengan mengorbankan dirimu sendiri?!" sela Tanca dengan nada yang meninggi, sesuatu yang jarang ia lakukan. Amarah dan kekhawatiran yang tulus terpancar dari matanya. "Dan bagaimana dengan kami semua? Bagaimana dengan orang-orang yang telah mempercayakan hidup dan mati mereka padamu? Mereka mengikutimu ke dalam hutan ini, meninggalkan sisa-sisa kehidupan mereka, karena mereka percaya pada Arok sang pemimpin harimau. Lalu kau akan meninggalkan mereka begitu saja untuk sebuah rencana yang bahkan kau sendiri tidak tahu akan berhasil atau tidak?"
Pertanyaan itu tepat menghantam titik terlemah di dalam hati Arok. Itulah pertanyaan yang sama yang telah menyiksanya sepanjang perjalanan kembali ke gua. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Tanca yang menuntut. Rasa bersalah yang tajam mencengkeramnya. "Itulah yang membuatku resah, Paman," akunya dengan suara lirih. "Itulah yang membuat hatiku terasa terbelah dua. Satu sisi ingin pergi, sisi lain ingin tetap di sini, bersama kalian."
Tanca membuang muka, pandangannya menerawang ke arah langit timur yang kini mulai dihiasi semburat warna lembayung. Ia adalah seorang pejuang sejati dari generasi yang berbeda. Baginya, kehormatan adalah bertarung secara jantan, berhadapan muka, pedang melawan pedang. Konsep menyusup, menyamar, berpura-pura, dan bermain intrik adalah sesuatu yang asing dan, sejujurnya, menjijikkan baginya. Itu adalah cara para pengecut dan penjilat.
"Dulu, guruku di padepokan pernah berkata," ujar Tanca dengan suara lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, mengenang masa lalu yang telah lama terkubur. "Ada dua jenis keberanian di dunia ini, Ngger. Keberanian seekor harimau, dan keberanian seekor laba-laba."
Arok mengangkat wajahnya, tertarik pada perumpamaan itu.
"Keberanian harimau adalah keberanian yang bisa dilihat semua orang," lanjut Tanca. "Ia gagah, ia kuat, ia mengaum dengan lantang. Ia menerjang maju dengan taring dan cakar terhunus, tidak pernah mundur, lebih baik mati daripada lari. Itulah keberanian yang kita anut selama ini. Kita adalah harimau-harimau dari lereng Kawi."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Tapi ada keberanian yang lain. Keberanian seekor laba-laba. Ia kecil, ia rapuh, ia bekerja dalam sunyi dan kegelapan. Ia tidak pernah menerjang mangsanya secara langsung. Sebaliknya, dengan kesabaran yang luar biasa, ia menenun jaringnya helai demi helai, hari demi hari. Sebuah pekerjaan yang membosankan dan tidak terlihat. Ia menunggu dalam diam, kadang berhari-hari, hingga saat yang paling tepat tiba, saat mangsanya yang jauh lebih besar dan lebih kuat terperangkap dalam jaringnya yang tak terlihat. Keduanya sama-sama mematikan, Arok. Keduanya sama-sama membutuhkan keberanian yang luar biasa. Selama ini, kita adalah harimau. Dan kini, Brahmana itu memintamu untuk menjadi seekor laba-laba."
Tanca kembali menatap Arok, tatapannya kini bukan lagi marah, melainkan penuh dengan pertanyaan yang sangat mendasar. "Pertanyaannya adalah, sanggupkah kau melakukannya? Bukan hanya soal bahayanya. Tapi sanggupkah jiwamu menanggungnya? Sanggupkah kau menanggalkan kulit harimaumu yang gagah dan mengenakan kulit domba yang penurut? Sanggupkah kau menahan amarahmu saat melihat ketidakadilan terjadi di depan matamu sendiri, dan kau harus diam saja demi sebuah rencana besar? Sanggupkah kau tersenyum dan membungkuk hormat pada orang yang paling ingin kau bunuh?"
Setiap pertanyaan Tanca adalah sebuah tusukan yang menguji keteguhan hati Arok. Ia tidak bisa menjawabnya dengan mudah. Ia terdiam lama. Ia membayangkan dirinya berada di istana, melihat seorang prajurit menendang seorang abdi tua tanpa alasan. Biasanya, ia akan langsung melompat dan mematahkan kaki prajurit itu. Tapi sebagai laba-laba, ia harus menunduk dan pura-pura tidak melihat. Ia membayangkan dirinya harus menyajikan minuman untuk Tunggul Ametung, melihat wajah tiran itu dari dekat, mencium bau kemewahannya yang busuk. Darahnya yang panas terasa mendidih hanya dengan membayangkannya. Bisakah ia menahan tangannya untuk tidak mencekik leher itu saat itu juga?
Namun, bayangan lain yang lebih kuat melintas di benaknya. Bayangan wajah-wajah rakyat Jatiwangi yang penuh harapan. Bayangan Ki Wiradadaha yang menangis sambil memeluk karung gabahnya. Bayangan para pengikutnya yang setia, yang masa depannya bergantung sepenuhnya padanya. Mereka semua adalah taruhannya. Jika ia tetap menjadi harimau, ia mungkin bisa memuaskan amarahnya, memenangkan beberapa pertempuran kecil yang heroik, namun pada akhirnya ia akan kalah dalam perang besar ini. Harimau itu akan diburu oleh ratusan pemburu, dikepung, dan akhirnya mati kelelahan. Tapi jika ia menjadi laba-laba, ia memiliki kesempatan. Sekecil apapun itu. Kesempatan untuk menangkap sang raja serigala itu sendiri, sang sumber dari semua penderitaan.
"Aku… aku tidak tahu apakah aku sanggup, Paman," aku Arok dengan jujur, suaranya terdengar serak oleh pergulatan batin yang hebat. "Bagian harimau dalam diriku menjerit menolaknya. Tapi bagian lain dalam diriku, bagian yang melihat penderitaan di lembah sana, tahu bahwa tidak ada jalan lain. Aku harus mencobanya."
Melihat kesungguhan, kejujuran, dan gejolak batin yang begitu nyata terpancar dari wajah pemimpin mudanya, hati Tanca yang keras perlahan luluh. Rasa sayangnya pada Arok, yang telah ia anggap seperti anaknya sendiri, mengalahkan prinsip-prinsip pribadinya. Ia sadar, Arok telah memikul beban yang terlalu berat untuk pundak seusianya. Dan seorang pemimpin sejati kadang harus menempuh jalan yang paling sepi dan paling menyakitkan.
"Jika ini memang jalan yang harus kau tempuh," kata Tanca akhirnya, suaranya mantap. Keputusannya telah bulat. "Maka tempuhlah. Jangan khawatirkan kami."
"Paman…" Arok menatapnya, tak percaya.
"Dengar," potong Tanca dengan tegas, nadanya kembali seperti seorang panglima. "Tanpa dirimu, kami mungkin tidak akan bisa melancarkan serangan besar seperti di Jatiwangi. Kami akan kehilangan taring utama kami. Tapi kami bisa bertahan. Aku akan memimpin mereka. Kita akan kembali menjadi bayangan, bersembunyi lebih dalam di perut gunung ini. Kita akan menjaga api perjuangan ini tetap menyala kecil, menunggu isyarat darimu dari dalam istana. Kami akan menjadi pasukan cadanganmu, pasukan rahasiamu. Kami akan menjadi harimau-harimau yang bersembunyi di semak-semak, menunggu laba-laba itu memberikan tanda."
Ia menepuk pundak Arok dengan keras, sebuah tepukan yang menyalurkan kekuatan dan kepercayaan. "Pergilah, Arok. Jadilah laba-laba itu. Tenun jaringmu dengan sabar dan teliti. Dan jika saatnya tiba, saat mangsa besarmu telah terjerat tak berdaya, kami para harimau akan datang untuk membantumu merobeknya hingga berkeping-keping."
Dukungan yang tak terduga dan total dari orang yang paling ia hormati itu bagai air sejuk yang menyiram jiwa Arok yang terbakar. Air mata menggenang di pelupuk matanya, sesuatu yang sangat jarang terjadi sejak ia masih kanak-kanak. Ia merasa tidak lagi sendirian dalam keputusan yang mengerikan ini.
"Terima kasih, Paman," katanya dengan suara bergetar. "Aku berutang nyawa padamu."
"Hentikan omong kosong itu," gerutu Tanca, mencoba menutupi keharuannya sendiri dengan sikap galak. "Kau berutang kemenangan pada rakyat Tumapel. Sekarang, jangan pikirkan aku. Pikirkan bagaimana kau akan menjelaskannya pada Mahesa dan yang lainnya. Hati anak itu lurus seperti batang bambu, tapi juga mudah terbakar seperti ilalang kering di musim kemarau. Menaklukkan hatinya akan menjadi ujian pertamamu sebagai seekor laba-laba."
***
5.3: Perpisahan di Lereng Gunung
Perkiraan Tanca terbukti benar. Menjelaskan rencananya pada Mahesa dan yang lainnya adalah sebuah pertempuran tersendiri, sebuah ujian pertama bagi kemampuan Arok untuk menjadi "laba-laba"—menggunakan kata-kata dan nalar untuk menjinakkan kekuatan "harimau" yang buas.
Setelah percakapan yang menguras emosi dengan Tanca, Arok meminta semua pengikutnya untuk berkumpul di pelataran utama. Matahari sudah mulai naik, sinarnya yang hangat menembus celah-celah kanopi hutan, namun suasana di antara mereka justru terasa dingin dan tegang. Mereka bisa merasakan ada sesuatu yang penting akan terjadi. Wajah Arok yang serius dan kehadiran Tanca yang berdiri diam di sampingnya sudah cukup menjadi pertanda.
Ketika semua telah berkumpul, Arok melangkah ke tengah. Ia tidak langsung berbicara. Ia menatap mereka satu per satu, dari wajah Mahesa yang penuh tanya, Kertu yang penasaran, hingga wajah-wajah lain yang menatapnya dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan. Hatinya kembali terasa perih. Ia akan meminta kepercayaan terbesar dari orang-orang ini, kepercayaan untuk melepaskannya pergi ke dalam ketidakpastian.
Dengan suara yang ia usahakan tetap tenang dan mantap, Arok menjelaskan rencananya. Ia tidak menggunakan perumpamaan rumit seperti yang Lohgawe atau Tanca gunakan. Ia berbicara dengan bahasa yang lugas dan jujur. Ia menjelaskan bahwa perlawanan mereka dari luar tidak akan cukup, bahwa untuk meruntuhkan pohon besar, akarnya harus dicabut. Dan akar itu berada di dalam Istana Tumapel. Ia memberitahu mereka tentang rencananya untuk menyusup, untuk menjadi mata-mata, untuk mencari kelemahan dari dalam. Ia tidak menyebut nama Brahmana Lohgawe, karena itu akan terdengar seperti dongeng. Ia menyajikannya sebagai sebuah strategi perang yang lahir dari pemikirannya sendiri.
Reaksi pertama yang muncul adalah keheningan yang tercengang. Mereka mencoba mencerna ide yang begitu radikal itu. Lalu, keheningan itu pecah oleh satu suara. Suara Mahesa.
"Apa?!" teriak Mahesa, wajahnya yang biasanya cerah kini merah padam karena campuran amarah dan ketidakpercayaan. Ia melangkah maju, menunjuk Arok dengan jari gemetar. "Kakang akan meninggalkan kami? Meninggalkan perjuangan yang baru saja kita mulai ini? Untuk apa? Untuk menjadi abdi di istana? Menjadi pesuruh dari orang-orang yang selama ini kita benci?! Menjadi anjing penjilat seperti Ki Glondong?!"
Setiap kata adalah sebuah tuduhan. "Ini gila!" lanjutnya, suaranya semakin keras. "Ini bukan strategi! Ini pengkhianatan!"
Kata "pengkhianatan" itu seperti percikan api yang menyulut tumpukan ilalang kering. Beberapa pemuda lain yang mengidolakan Mahesa ikut bersuara, menyetujui ucapan pemimpin informal mereka.
"Benar! Kita berjuang bersama atau mati bersama di gunung ini!"
"Bagaimana kami bisa percaya Kakang tidak akan berubah pikiran setelah merasakan kemewahan istana?"
"Ini sama saja dengan menyerah!"
Suasana menjadi tegang dan penuh emosi. Kelompok yang tadinya begitu solid kini terancam retak oleh perbedaan pendapat yang fundamental.
Arok membiarkan mereka meluapkan perasaannya. Ia tidak memotong, tidak juga membela diri. Ia hanya berdiri diam di tengah lingkaran, menjadi pusat dari badai emosi itu. Ia menerima setiap cacian, setiap ungkapan kekecewaan dengan wajah tenang, matanya menatap lurus ke depan. Ia tahu, ia harus membiarkan badai itu lewat. Melawan amarah dengan amarah hanya akan menciptakan kehancuran. Ini adalah ujian pertamanya dalam mempraktikkan Ilmu Angin Lereng Kawi dalam ranah sosial, bukan fisik. Ia harus menjadi bambu yang meliuk, bukan pohon jati yang patah.
Setelah gelombang kemarahan itu sedikit mereda, menyisakan napas yang terengah-engah dan wajah-wajah yang masih memerah, barulah Arok berbicara. Suaranya tidak keras, tidak juga marah. Ia berbicara dengan nada yang rendah namun mengandung wibawa yang entah bagaimana membuat semua orang terdiam dan terpaksa mendengarkan.
"Aku mengerti kemarahan kalian," mulainya, matanya menyapu seluruh wajah di hadapannya. "Aku mengerti kekecewaan kalian. Jika aku berada di posisi kalian, dan mendengar pemimpin yang aku percaya tiba-tiba membuat rencana seperti ini, aku mungkin akan merasakan hal yang sama. Aku mungkin akan meneriakkan kata 'pengkhianat' lebih keras dari kalian."
Pengakuan itu membuat mereka sedikit lengah. Mereka tidak menyangka Arok akan memvalidasi perasaan mereka.
Ia kemudian menatap lurus ke mata Mahesa, yang masih mendidih oleh amarah. "Kau bilang ini pengkhianatan. Aku bertanya padamu, Mahesa. Jika ada sebuah benteng yang temboknya terlalu tinggi untuk kita panjat dan gerbangnya terlalu kokoh untuk kita dobrak, apakah salah jika salah satu dari kita mencoba mencari celah, menyamar menjadi pedagang atau pengemis, untuk masuk ke dalam dan membuka gerbangnya dari dalam untuk kita semua?"
Mahesa terdiam. Logika sederhana itu tak terbantahkan, namun hatinya masih menolak.
"Apakah seorang pemburu yang menyamar dengan kulit rusa untuk bisa mendekati kawanan rusa yang waspada adalah seorang pengkhianat bagi sesama pemburu?" lanjut Arok, suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan pergi ke Tumapel untuk menjadi abdi mereka. Aku akan menjadi penyakit yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam. Aku akan menjadi racun yang dicampurkan ke dalam minuman mereka. Aku akan menjadi mata dan telinga kalian di jantung pertahanan musuh. Aku akan mempelajari setiap kelemahan mereka, setiap rahasia busuk mereka, setiap celah yang bisa kita manfaatkan."
Ia berhenti sejenak, membiarkan metafora itu meresap ke dalam pikiran mereka yang sederhana. "Ini bukan akhir dari perjuangan kita," katanya dengan penekanan. "Ini adalah awal dari babak yang baru. Babak yang jauh lebih berbahaya, yang membutuhkan kesabaran seekor laba-laba, bukan hanya amukan seekor harimau."
Ia menghela napas, tatapannya kini melembut. "Aku tidak meminta kalian untuk ikut denganku. Jalan ini terlalu berbahaya dan licik. Jalan ini harus kutempuh sendiri. Aku hanya meminta satu hal dari kalian, satu-satunya hal yang paling berharga yang bisa kalian berikan: kepercayaan kalian. Percayalah pada rencanaku, seperti kalian percaya pada pedangku saat aku bertarung. Paman Tanca akan memimpin kalian selama aku pergi. Tetaplah di sini. Tetaplah berlatih. Jangan berbuat gegabah. Tetaplah menjadi bayangan, jaga agar api perjuangan kita tetap menyala, sekecil apapun itu. Dan tunggulah isyarat dariku."
Kata-kata Arok yang tenang namun penuh keyakinan itu perlahan mulai bekerja. Seperti air yang menetes terus-menerus di atas batu, ia mulai mengikis kekerasan hati Mahesa dan yang lainnya. Mereka mulai melihat logika di balik rencana yang tadinya tampak gila itu. Mereka mulai memahami tingkat pengorbanan yang akan dilakukan Arok. Ia tidak memilih jalan yang mudah, ia justru memilih jalan yang paling sulit dan paling sepi.
Melihat momen yang tepat, Tanca melangkah maju ke depan, berdiri di samping Arok. Kehadirannya yang penuh wibawa memberikan bobot tambahan pada kata-kata Arok.
"Aku percaya pada Arok," katanya dengan suara lantang dan mantap, suaranya menggema di pelataran itu. "Aku percaya pada jalan yang ia pilih. Dan aku akan tetap di sini, memegang amanahnya. Siapapun yang masih menganggap dirinya pengikut Arok, akan tetap berada di sini bersamaku, menjaga benteng kita di lereng Kawi ini. Kita bukan lagi pasukan penyerang. Untuk sementara, kita adalah pasukan cadangan, pasukan rahasia yang menunggu perintah dari senapati kita yang sedang menyusup ke jantung musuh."
Ia berhenti, matanya yang tajam menyapu setiap wajah dengan tatapan mengancam. "Siapa yang menolak, siapa yang masih menganggap ini pengkhianatan, boleh pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga, dengan segala hormat. Tapi jangan pernah kembali."
Ancaman halus dari Tanca itu berhasil membungkam sisa-sisa penolakan. Tidak ada satu pun yang bergerak untuk pergi. Ke mana mereka akan pergi? Kembali ke lembah untuk menjadi budak? Hutan ini, di bawah kepemimpinan Arok dan Tanca, adalah satu-satunya rumah yang mereka punya. Mereka semua menundukkan kepala, menerima keputusan itu dengan berat hati.
Mahesa, yang sejak tadi berjuang keras antara amarah dan kesetiaannya, akhirnya menghela napas panjang, sebuah napas kekalahan. Pundaknya yang tegap merosot. "Baiklah, Kakang," katanya dengan suara berat, nyaris tak terdengar. "Aku… aku akan mencoba untuk percaya. Aku akan tetap di sini bersama Paman Tanca." Ia mengangkat wajahnya, menatap Arok dengan tatapan yang rumit. "Tapi camkan kata-kataku. Jika suatu saat kami mendengar kau telah benar-benar menjadi anjing penjaga istana, jika kau telah lupa pada kami dan penderitaan rakyat, kami sendiri yang akan turun untuk memburumu. Dan aku yang akan menjadi orang pertama yang menancapkan tombak di dadamu."
Arok tersenyum tipis. Bukan senyum geli, tapi senyum penuh penghargaan. Ancaman itu adalah bukti bahwa semangat Mahesa tidak padam. "Aku pegang janjimu, Adi. Janjimu itu akan menjadi pengingat bagiku di saat-saat tergelap nanti."
Perpisahan itu terasa berat, namun harus dilakukan dengan cepat. Tidak ada upacara, tidak ada pelukan atau air mata yang berlebihan. Hanya sebuah anggukan kepala dan tatapan mata yang penuh makna antara Arok, Tanca, dan Mahesa. Arok menyerahkan pedang panjangnya kepada Tanca. "Simpan ini untukku, Paman. Di tempat tujuanku, senjata seperti ini hanya akan menimbulkan kecurigaan." Ia hanya menyisakan sebilah belati kecil yang disembunyikan di balik punggungnya.
Saat matahari mulai merangkak naik, memancarkan sinarnya yang pertama ke lembah, Arok berbalik badan. Tanpa menoleh ke belakang lagi, ia melangkah meninggalkan satu-satunya tempat yang pernah ia sebut sebagai rumah, meninggalkan satu-satunya keluarga yang ia miliki.
He walked down the mountainside, alone, toward the Watu Kembang Temple at the edge of the forest. Each step felt like he was leaving a piece of his heart behind. His inner turmoil still raged. He was a fugitive who would now become a servant. A leader who must now learn to be a servant. A tiger who must learn to hide its fangs and claws.
His journey to the Tumapel palace has begun. A journey that will not only test his martial arts and ingenuity, but will also tear his soul to shreds, forcing him to constantly ask himself: who is he? And where is the line between disguise and loss of identity? The shadows will become his most loyal companions on this lonely path.
⭐⭐⭐🇮🇩⭐⭐⭐
Continued CHAPTER 06