Chapter 4: Chapter 004: Shadows in the Blind Night
4.1: Unease at the Peak of Victory
Days passed on the slopes of Kawi like calm waters after a small storm. The echoes of the silent raid on Jatiwangi and the friendly battle between Arok and Mahesa had wrought profound and fundamental changes among their followers. The atmosphere inside their cave hideout was no longer filled with raw anger and smoldering revenge. There was something new, something more structured and hopeful.
Their previously wild and self-loathing-driven spirit was now taking on a clear direction and discipline. Mornings were no longer filled with complaints about fate or petty plans to intercept lowly patrols. The cave's front yard had now transformed into a mini-crater. They trained more diligently and seriously. Every movement was no longer driven by a desire to vent their anger, but by self-control. They began to understand, from Arok's teachings, that the greatest power lies not in the ability to destroy, but in the ability to control.
Mahesa, whose ego had been shattered and rebuilt on a solid foundation of respect, underwent the most drastic transformation. He had experienced firsthand the boundless ocean-like depth of Arok's knowledge. He was now his most obedient disciple, absorbing every teaching like dry soil absorbs rainwater. But he was also his comrades' most stringent training supervisor. He no longer tolerated laziness or half-hearted movements. "Brother Arok overcomes strength with gentleness, not with laziness!" he shouted to a young man whose stance was faltering. "If your body isn't as hard as stone, at least your mind must be as flexible as the wind!" His old, arrogant pride had given way to a genuine responsibility to ensure his comrades were ready for anything.
What was once a small group of outcasts began to resemble a disciplined army. They learned to read trails, strategize attacks, tend wounds, and most importantly, they learned to trust each other as a unit. The victory at Jatiwangi had proven that Arok's methods had worked. Hope was no longer just a dream, but a real possibility they could achieve with their own hands.
Namun, di tengah suasana yang mulai tertata dan penuh optimisme itu, Arok justru semakin sering menyendiri. Ia seperti seorang nahkoda yang kapalnya berhasil selamat dari badai kecil, namun justru semakin cemas karena melihat cakrawala yang terlalu tenang, pertanda akan datangnya badai yang jauh lebih besar. Jiwanya yang tajam laksana bilah pedang pusaka merasakan sebuah kegelisahan yang tak terjelaskan, sebuah firasat yang merayap dingin di tulang punggungnya. Ia memang telah berhasil menyalakan sebuah obor di tengah kegelapan pekat yang menyelimuti Tumapel. Tetapi ia tahu betul, obor yang sama, yang memberikan cahaya dan harapan bagi para domba, juga akan menarik perhatian serigala-serigala yang jauh lebih buas dari sekadar Ki Glondong Wisesa.
Ki Glondong hanyalah seekor anjing penjaga yang gemuk dan malas. Kekalahannya mungkin akan membuat Tunggul Ametung murka sesaat, tetapi sang Akuwu pasti akan mengirim anjing pemburu yang lebih ramping, lebih cepat, dan lebih ganas. Mungkin seorang senapati perang yang telah kenyang pengalaman, atau mungkin pasukan khusus Bhayangkara yang reputasi kekejamannya melegenda. Arok merasa telah mencapai sebuah batas. Batas dari apa yang bisa ia capai dengan kekuatan gerombolannya yang kecil, batas dari perlawanan yang hanya berbasis di alam liar. Mereka bisa memenangkan pertarungan-pertarungan kecil di hutan dan lereng gunung, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memenangkan perang yang sesungguhnya.
Setiap malam, ketika kawan-kawannya telah terlelap dalam tidurnya yang lelah setelah seharian berlatih, Arok akan duduk di bibir tebing kesukaannya. Matanya menatap kerlip lampu di lembah Tumapel yang membentang di bawahnya. Dari kejauhan, kerlip lampu itu tampak indah, seperti taburan bintang yang jatuh ke bumi. Tapi Arok tahu, di balik keindahan itu tersembunyi borok yang membusuk. Di sana ada istana yang megah, di mana pesta pora tak pernah berhenti. Di sana ada para bangsawan yang tertawa di atas penderitaan rakyat. Dan di sana, di pusat dari semua itu, bertahta Tunggul Ametung, sang sumber dari segala kesengsaraan.
Dan setiap kali ia menatap ke sana, hatinya terasa kian berat. Ia seperti seorang pengembara yang berhasil mendaki sebuah bukit dengan susah payah, hanya untuk melihat barisan pegunungan yang jauh lebih tinggi, lebih terjal, dan puncaknya tertutup awan mustahil menjulang di hadapannya. Perlawanannya saat ini hanyalah duri kecil yang menusuk telapak kaki sang raksasa. Mungkin menyakitkan sesaat, tapi sang raksasa hanya perlu mencabutnya dan menginjaknya hingga hancur. Untuk merobohkan raksasa itu, ia harus menemukan jantungnya. Ia harus menyerang titik vitalnya. Tapi di mana? Dan bagaimana caranya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menjadi angin puyuh yang tak kunjung reda di dalam kepalanya. Haruskah ia terus melatih pasukannya hingga menjadi lebih besar dan lebih kuat, lalu melancarkan serangan terbuka? Itu adalah sebuah kegilaan. Mereka akan dihancurkan oleh kekuatan Tumapel yang jauh lebih superior sebelum mereka sempat mencapai gerbang kota. Haruskah ia terus melancarkan serangan gerilya, menakut-nakuti para pemungut upeti? Itu hanya akan membuat rakyat semakin menderita, karena istana pasti akan melampiaskan kemarahannya pada mereka.
Ia merasa terperangkap dalam strateginya sendiri. Ia merasa seperti seekor elang yang sayapnya cukup kuat untuk terbang tinggi, namun terikat pada sarangnya oleh tali yang tak terlihat. Tali itu adalah keterbatasannya, keterbatasan visinya. Keresahan itu membuatnya sulit tidur. Bayangan wajah-wajah rakyat yang penuh harapan di Jatiwangi kini menjadi beban yang menekan pundaknya. Ia telah berjanji pada mereka, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Dan ia merasa akan mengkhianati janji itu jika ia hanya terus berputar-putar di lereng gunung ini. Ia butuh jalan keluar. Sebuah terobosan. Sebuah pencerahan.
Malam itu, keresahannya mencapai puncaknya. Rembulan bersembunyi malu-malu di balik selimut awan kelabu, dan hanya bintang-bintang yang paling terang yang berani menatap bumi. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, membawa serta aroma hutan yang pekat dan basah. Di dalam gua, dengkur halus kawan-kawannya menjadi satu-satunya suara. Arok tak lagi sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Ia merasa sesak, seolah dinding-dinding gua yang menjadi pelindungnya kini justru menghimpitnya.
Ia membutuhkan kesunyian yang mutlak. Bukan sekadar keheningan dari suara manusia, tetapi keheningan jiwa. Ia butuh berbicara pada satu-satunya guru yang selama ini ia kenal, guru yang telah mengajarinya cara bertahan hidup, cara bertarung, dan cara berpikir: alam itu sendiri. Ia harus kembali ke sumbernya, ke tempat di mana ia pertama kali menemukan kekuatannya.
Tanpa berkata pada siapapun, bahkan pada Tanca yang biasanya menjadi tempatnya berkeluh kesah, ia beranjak dari pembaringannya. Dengan gerakan yang lebih ringan dari bayangan, ia menyelinap melewati tubuh-tubuh yang tertidur. Ia seperti kabut yang bergerak tanpa bentuk, melewati penjaga malam yang terkantuk-kantuk di mulut gua tanpa terdeteksi. Ia menembus lebatnya hutan, menuju bagian gunung yang lebih tinggi, lebih liar, dan lebih keramat. Sebuah tempat yang bahkan oleh kawan-kawannya sendiri jarang didatangi karena dipenuhi cerita-cerita tentang penunggu gaib dan dianggap angker.
Baginya, tempat itu adalah tempat suci. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menjadi seorang pemimpin atau pahlawan. Tempat di mana ia hanyalah Arok, seorang anak manusia yang sedang mencari jalan di tengah kegelapan dunia.
***
4.2: Suara di Kesunyian Keramat
Hutan di malam hari adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda, sebuah kerajaan yang hukumnya tidak ditulis oleh manusia. Di bawah cahaya rembulan yang tersaring oleh kanopi rapat, segala sesuatu berubah wujud. Pohon-pohon raksasa yang di siang hari tampak agung dan melindungi, kini menjulang laksana tiang-tiang penyangga langit yang hitam pekat. Dahan-dahannya yang meranggas dan dipenuhi sulur-sulur liar tampak seperti tangan-tangan kerangka raksasa yang kurus, mencoba menggapai bulan atau menangkap mangsa yang tak waspada. Suara jangkrik, tonggeret, dan ribuan serangga malam lainnya yang tak terlihat, bersahut-sahutan dalam irama yang konstan dan hipnotis, menciptakan sebuah orkestra alam yang agung sekaligus mencekam. Bagi orang biasa, hutan ini adalah labirin kematian, tempat di mana setiap bayangan bisa menyembunyikan bahaya dan setiap suara bisa menjadi pertanda akhir.
Namun bagi Arok, ini adalah rumahnya. Ini adalah rahim yang melahirkannya kembali setelah ia terusir dari dunia manusia. Ia mengenal setiap liku jalan setapak yang tersembunyi di balik semak belukar. Hidungnya mampu membedakan aroma bunga hutan yang mekar di malam hari dari bau tanah basah atau dedaunan yang lapuk. Telinganya mampu menyaring gemerisik seekor landak yang mencari makan dari desis seekor ular yang merayap di dahan. Kakinya, yang telah terbiasa berjalan tanpa alas, bisa merasakan getaran tanah yang menandakan kehadiran seekor babi hutan atau kijang dari kejauhan. Ia bergerak di dalam hutan ini bukan sebagai penyusup, melainkan sebagai bagian dari ekosistemnya, selaras dengan denyut nadinya yang purba.
Akan tetapi, malam ini terasa ada yang aneh. Sesuatu yang ganjil dan tidak pada tempatnya.
Semakin dalam ia masuk ke dalam hutan, mendaki lereng yang semakin terjal menuju area yang lebih keramat, semakin sunyi pula suasana di sekelilingnya. Orkestra serangga malam yang tadinya riuh rendah, perlahan-lahan lenyap. Satu per satu instrumen alam itu membungkam diri, digantikan oleh keheningan yang pekat dan berat. Ini bukan keheningan yang damai. Ini adalah keheningan yang penuh tekanan, seolah seluruh penghuni hutan sedang menahan napas secara bersamaan. Bahkan angin, yang biasanya selalu berdesir di antara dedaunan pinus, kini seolah berhenti, membeku di tempat.
Arok berhenti melangkah. Seluruh otot di tubuhnya menegang dalam kewaspadaan instingtif. Bulu kuduknya meremang, sebuah reaksi primal terhadap sesuatu yang tidak ia pahami. Ia memejamkan mata sejenak, memusatkan seluruh inderanya. Ia mencoba merasakan aliran energi di sekitarnya. Ini bukan kesunyian yang menandakan kehadiran predator seperti macan kumbang atau harimau. Kehadiran predator besar biasanya masih menyisakan getaran ketakutan yang agresif. Ini berbeda. Ini adalah kesunyian yang menandakan kehadiran sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang membuat seluruh alam memilih untuk menunduk hormat, membungkam diri agar tidak dianggap lancang.
Arok adalah seorang petarung ulung. Naluri bahayanya telah terasah setajam silet oleh kerasnya kehidupan. Namun anehnya, di tengah keheningan yang menekan ini, ia tidak merasakan hawa permusuhan. Ia tidak merasakan aura membunuh atau niat jahat. Yang ia rasakan justru sebuah ketenangan yang luar biasa dahsyat. Sebuah kedamaian yang begitu agung dan murni hingga terasa menekan jiwanya yang sedang bergejolak. Rasanya seperti sebuah genderang besar yang dipukul di kejauhan, frekuensinya begitu rendah hingga tidak terdengar oleh telinga, namun getarannya mampu membuat seluruh tubuh beresonansi.
Dengan kewaspadaan yang ditingkatkan hingga ke puncaknya, Arok melanjutkan langkahnya. Ia bergerak lebih lambat, lebih berhati-hati, setiap langkahnya nyaris tak berbobot. Tujuannya adalah sebuah tempat paling sakral di bagian gunung ini: sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik dinding batu berlapis lumut tebal, yang airnya diyakini berasal langsung dari jantung Gunung Kawi. Tempat itu sering ia gunakan untuk bersemedi, untuk menjernihkan pikiran dan menyatukan dirinya kembali dengan kekuatan alam.
Ketika ia akhirnya menembus tirai sulur-sulur terakhir dan tiba di pelataran kecil di depan air terjun, pemandangan yang menyambutnya membuatnya terpaku. Tubuhnya membeku di tempat, napasnya tertahan di tenggorokan.
Di tengah pelataran kecil yang diterangi oleh cahaya rembulan yang entah bagaimana berhasil menembus kanopi hutan di tempat ini, di atas sebuah batu datar yang biasa ia duduki, kini telah ada sesosok tubuh. Sosok itu duduk bersila dengan punggung lurus sempurna, menghadap ke arahnya seolah telah menunggunya sejak lama. Ia mengenakan jubah putih sederhana yang sedikit kusam, warnanya kontras dengan kegelapan di sekelilingnya. Rambutnya yang panjang dan telah memutih seluruhnya diikat seadanya dengan seutas tali kulit, beberapa helainya yang terlepas tertiup lembut oleh angin gaib yang hanya terasa di sekitar air terjun. Dari punggungnya yang tegap namun kurus, Arok bisa melihat bahwa sosok itu adalah seorang lelaki tua.
Seluruh otot di tubuh Arok menegang hingga terasa sakit. Pikirannya berkecamuk dengan ribuan pertanyaan dalam sekejap. Siapakah orang ini? Bagaimana ia bisa berada di sini? Bagaimana ia bisa menemukan tempat paling rahasia miliknya ini? Dan yang paling mustahil, bagaimana ia bisa berada di sini tanpa Arok sadari kehadirannya sama sekali? Bahkan binatang buas yang paling lihai pun, atau telik sandi Tumapel yang paling terlatih sekalipun, tak akan bisa menyelinap ke tempat ini tanpa terdeteksi olehnya. Kehadiran orang tua ini menafikan semua ilmu dan naluri yang selama ini menjadi andalannya. Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat lautan.
Lelaki tua itu seolah merasakan kehadiran dan keterkejutan Arok. Tanpa menoleh, tanpa mengubah posisi duduknya yang sempurna, ia berbicara. Suaranya tidak keras, lebih mirip bisikan, namun terdengar sangat jelas, jernih, dan berwibawa. Suara itu seolah menyatu dengan gemericik air terjun di belakangnya, menjadi bagian dari harmoni alam itu sendiri.
"Api yang kau sulut di lembah, Anak Muda, telah terasa hangatnya hingga ke puncak gunung ini."
Jantung Arok berdebar kencang, seolah dipukul oleh palu godam. Orang ini tahu. Ia tidak hanya tahu tentang keberadaannya, ia tahu tentang apa yang telah ia lakukan.
"Siapakah kau, Kakek?" tanya Arok. Ia berusaha keras menjaga suaranya agar tetap tenang dan datar, menyembunyikan badai yang bergolak di dalam dirinya. Kewaspadaannya telah mencapai puncaknya. Tangannya sudah bergerak perlahan ke belakang, jari-jarinya hanya berjarak sejengkal dari gagang pedang yang terselip di punggungnya.
Lelaki tua itu perlahan, dengan gerakan yang anggun dan tanpa tergesa-gesa, membalikkan badan. Dan ketika Arok melihat wajahnya, ia kembali tertegun untuk kedua kalinya. Wajah itu telah dipenuhi oleh jalinan keriput yang dalam, sebuah peta yang menceritakan perjalanan waktu yang sangat panjang. Janggutnya yang putih dan tipis tergerai hingga ke dada. Namun yang paling memukau adalah sepasang matanya. Sepasang mata itu tampak begitu tua namun sekaligus begitu muda. Mata itu bersinar dengan cahaya kebijaksanaan yang lembut, teduh, namun mampu menembus hingga ke dasar jiwa. Tatapannya tidak menghakimi, tidak juga mengancam. Tatapannya seolah telah melihat seribu musim berlalu, seolah telah memahami segala rahasia alam semesta, dari pergerakan bintang hingga ke gejolak hati seorang pemuda yang resah.
Di dalam tatapan itu, Arok merasa dirinya telanjang bulat. Segala topeng kekuatan, keberanian, dan ketenangan yang biasa ia kenakan seolah luruh tak berdaya. Segala gejolak, keraguan, dan keresahan hatinya seolah terbaca dengan jelas, seperti membaca sebuah lontar yang terbuka.
"Namaku Lohgawe," jawab lelaki tua itu dengan senyum tipis yang ramah. "Orang-orang memanggilku Brahmana Lohgawe. Tapi nama hanyalah sebuah sangkar bagi burung. Aku hanyalah seorang pengembara yang menjadikan gunung ini sebagai atap dan bumi ini sebagai alas tidur."
Arok masih belum menurunkan kewaspadaannya. Nama Brahmana Lohgawe terdengar samar-samar di telinganya, sebuah nama dari legenda, seorang pertapa sakti yang konon telah hidup ratusan tahun. Tapi Arok tidak mudah percaya pada dongeng. "Bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang terjadi di lembah? Apakah kau mata-mata Tumapel?"
Lohgawe tertawa kecil. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa yang jernih dan renyah seperti suara genta perunggu yang dipukul pelan. "Mata-mata Tumapel? Anak Muda, bahkan senapati mereka yang paling perkasa pun tak akan sanggup menapakkan kakinya sejauh ini tanpa seizinku." Ia tersenyum lagi. "Aku tahu bukan karena aku melihat. Aku tahu karena aku mendengar. Angin yang berhembus dari lembah membawakan berita untukku. Gemerisik daun di sepanjang lereng menceritakan kisah padaku. Dan getar bumi ini, yang berasal dari hatimu yang bimbang, menyampaikan keresahanmu kepadaku."
Ia menatap Arok dengan lekat. "Kau datang kemari bukan hanya untuk menenangkan diri, bukan? Kau datang kemari mencari jawaban."
Lidah Arok terasa kelu. Ia tidak bisa membantah. Setiap kata yang diucapkan Brahmana ini seolah menamparnya dengan kebenaran yang tak terbantahkan. Ia merasa seperti seorang murid bodoh yang berdiri di hadapan seorang guru maha tahu. Perlahan, tangannya yang sudah siap di gagang pedang, turun kembali ke sisinya. Ia tahu, jika orang ini berniat jahat, pedangnya tidak akan ada gunanya.
***
Tentu. Berikut adalah pengembangan Sub-Bab 4.3, "Jalan Menuju Jantung Naga," menjadi sebuah narasi yang dramatis, penuh pertaruhan, dan mengubah arah takdir, dengan jumlah kata lebih dari 2500 kata.
4.3: Jalan Menuju Jantung Naga
Lidah Arok terasa kelu, seolah membeku oleh hawa dingin yang tak kasat mata. Setiap kata yang diucapkan Brahmana Lohgawe bukanlah sekadar untaian kalimat, melainkan anak panah kebenaran yang melesat lurus, menembus lapisan-lapisan pertahanan dirinya dan menghunjam tepat di pusat kegelisahannya. Ia merasa seperti seorang pelaut ulung yang tiba-tiba menyadari bahwa peta yang selama ini ia gunakan ternyata salah total. Angin yang tadinya ia kira sahabat, ternyata hanya meniupnya berputar-putar di tempat yang sama.
"Kau telah melakukan hal yang benar," lanjut Lohgawe, suaranya yang tenang kini terdengar seperti sabda seorang dewa di tengah keheningan keramat itu. "Kau membela yang lemah dan melawan yang zalim. Niat hatimu bersih dan murni laksana mata air di puncak gunung ini." Ia berhenti sejenak, membiarkan pujian itu meresap, sebelum tatapannya menjadi lebih tajam, lebih menusuk. "Tetapi, jalan yang kau tempuh saat ini adalah jalan buntu."
Kata-kata itu menghantam Arok lebih keras daripada pukulan terkuat Mahesa. "Apa maksudmu?" tanya Arok, suaranya yang biasanya mantap kini sedikit bergetar. Ia membutuhkan penjelasan, meskipun ia takut akan jawaban yang akan ia dengar.
Lohgawe tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya sejenak ke arah air terjun yang mengalir tanpa henti, seolah sedang membaca kitab alam yang tersembunyi di dalam gemericiknya. "Pohon beracun yang buahnya membunuh rakyat Tumapel itu, akarnya sangat dalam dan dahannya sangat rindang," Lohgawe memulai perumpamaannya. "Kau, dengan keberanianmu, datang dan memotong beberapa rantingnya. Kau bahkan memetik beberapa buah busuknya. Rakyat yang berteduh di bawahnya bersorak gembira untuk sesaat. Tapi apa yang terjadi kemudian, Anak Muda?"
Ia kembali menatap Arok. "Kau memotong ranting-ranting itu, tapi kau membiarkan akarnya yang rakus terus tumbuh subur, menyerap sari-sari kehidupan dari dalam tanah. Kau mengusir serigala-serigala kecil yang mengganggu kawanan domba, tapi kau membiarkan induk serigala yang buas terus melahirkan anak-anak baru di dalam sarangnya yang hangat."
Perumpamaan itu begitu tajam, begitu tepat sasaran. "Tindakanmu di Jatiwangi," lanjut Lohgawe, "hanyalah sebuah riak kecil di permukaan telaga yang luas. Tunggul Ametung, dari singgasananya, mungkin akan terganggu sesaat oleh riak itu. Tapi kemudian ia hanya akan tertawa, dan mengirim pemungut upeti yang baru, mungkin dengan pengawalan yang lebih ketat dan perintah yang lebih kejam. Kau mungkin bisa mengalahkan mereka lagi, dan lagi, dan lagi. Tapi sampai kapan? Setiap kemenangan kecilmu di hutan ini akan dibayar dengan penderitaan yang lebih besar oleh rakyat di lembah. Kau akan terus terjebak dalam lingkaran perlawanan kecil yang tak berkesudahan ini, sementara di pusat kekuasaan, di jantung Tumapel, kezaliman itu akan terus mencengkeram dan mengokohkan dirinya, menjadi semakin kuat dan tak tergoyahkan."
Setiap kata-kata Lohgawe adalah palu godam yang menghantam dinding pertahanan terakhir di dalam hati Arok. Dinding yang ia bangun dari kemenangan-kemenangan kecil dan harapan-harapan semu. Kini dinding itu retak, lalu hancur berkeping-keping, menampakkan kebenaran pahit yang sebenarnya telah lama ia rasakan namun tak pernah berani ia akui dengan lantang. Ia telah membohongi dirinya sendiri.
Kekuatan di seluruh tubuhnya seolah terkuras habis. Kakinya lemas. Arok terduduk di atas rerumputan yang basah oleh embun malam, tak peduli lagi pada citra dirinya sebagai pemimpin yang tegar. Di hadapan Brahmana ini, ia hanyalah seorang pemuda yang tersesat. "Lalu… apa yang harus kulakukan, Brahmana?" bisiknya, nada suaranya kini penuh dengan kepasrahan seorang murid yang akhirnya menemukan gurunya. Segala kesombongan dan kepercayaan dirinya lenyap, digantikan oleh kekosongan yang siap diisi.
Lohgawe tersenyum, senyum yang penuh dengan welas asih. Ia melihat kerapuhan di dalam diri Arok, dan ia tahu, dari kerapuhan itulah kekuatan sejati bisa lahir. "Untuk memadamkan api besar, kau harus menemukan sumbernya, bukan sekadar memadamkan percikannya. Untuk merobohkan sebatang pohon raksasa, kau harus menebang pangkalnya, bukan hanya memangkas rantingnya."
Ia menatap lurus ke mata Arok, tatapannya kini berubah menjadi penunjuk arah. "Jalan takdirmu yang sesungguhnya tidak tertulis di hutan belantara ini, Arok. Perjuanganmu tidak akan dimenangkan di lereng gunung ini."
Jari telunjuknya yang kurus namun tampak kokoh seperti dahan jati, terangkat perlahan. Jari itu menunjuk jauh ke arah tenggara, ke arah di mana kerlip-kerlip cahaya dari pusat kadipaten Tumapel tampak paling terang dan paling padat di antara kegelapan malam.
"Jalanmu terbentang di sana. Di jantung istana. Di sarang naga itu sendiri."
Darah serasa berhenti mengalir di dalam tubuh Arok. Udara di sekitarnya seolah menipis, membuat dadanya sesak. Apa yang dikatakan orang tua ini? Masuk ke dalam istana? Itu bukan lagi sekadar berbahaya, itu adalah sebuah kegilaan murni. Itu sama saja dengan seekor kelinci yang dengan sukarela berjalan masuk ke dalam mulut singa. Itu adalah sebuah misi bunuh diri. Ia dan orang-orangnya mungkin hebat di hutan, tapi di dalam dinding istana, mereka akan menjadi sasaran empuk.
Seolah bisa membaca badai keraguan di dalam pikiran Arok, Lohgawe berkata lagi, suaranya kini terdengar tajam seperti ujung tombak. "Seekor serigala tidak akan bisa dikalahkan dengan cara domba. Untuk melawan seekor naga, kau tidak bisa hanya menyerangnya dari luar, mencakari sisiknya yang sekeras baja. Kau akan mati kelelahan sebelum berhasil melukainya. Kau harus menemukan cara untuk masuk ke dalam perutnya, dan merobek jantungnya dari dalam."
Arok terdiam seribu bahasa. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna ide yang radikal dan mengerikan itu. Jalan yang ditawarkan Brahmana ini adalah jalan yang paling berbahaya, paling mustahil, namun entah kenapa terdengar paling logis dan paling menjanjikan kemenangan total. Ini bukan lagi sekadar pertarungan. Ini adalah sebuah pertaruhan total. Menang atau mati. Tidak ada pilihan di antaranya. Tidak ada lagi jalan untuk mundur atau bersembunyi di gunung.
"Aku melihat api yang besar di dalam dirimu, Arok," suara Lohgawe kembali terdengar, kali ini lebih lembut, seperti hembusan angin yang menyalakan kembali bara yang hampir padam. "Api seorang pemimpin. Bahkan… aku melihat percik api seorang raja. Tetapi api tanpa tungku yang benar hanya akan menjadi asap yang menyesakkan dan membakar hutan tanpa tujuan. Ia akan menghanguskan segalanya, termasuk dirinya sendiri. Istana Tumapel, dengan segala intrik, kekejaman, dan kekuasaannya, bisa menjadi tungku yang akan menempa apimu. Ia akan membakarmu, menyakitimu, mengujimu hingga batas terakhir. Tapi jika kau berhasil bertahan, ia akan mengubah apimu dari api liar menjadi api suci, sebuah kekuatan yang mampu mengubah nasib seluruh tanah ini."
Lama sekali Arok terdiam. Keheningan di antara mereka hanya diisi oleh suara gemericik air terjun yang abadi. Ia menunduk, menatap kedua tangannya yang besar dan kokoh. Tangan yang selama ini terbiasa menggenggam gagang pedang yang kasar, memanjat tebing batu yang tajam, dan merasakan tanah yang subur. Bisakah tangan yang sama memainkan peran dalam dunia yang sama sekali berbeda? Dunia yang penuh dengan kepalsuan, di mana senyuman bisa lebih mematikan dari racun, dan kata-kata lembut bisa lebih tajam dari belati. Bisakah ia, seorang anak gunung yang jujur dan lugas, bertahan hidup dalam intrik dan siasat di dalam dinding istana?
Ia teringat wajah-wajah rakyat Jatiwangi. Ia teringat isak tangis kelegaan mereka. Ia teringat beban harapan yang mereka letakkan di pundaknya. Perjuangan ini bukan lagi tentang dirinya. Ini tentang mereka.
Akhirnya, setelah pergulatan batin yang terasa seperti berlangsung sewindu, ia mengangkat wajahnya. Keraguan di matanya telah lenyap, melebur dalam panasnya sebuah keputusan. Api di dalam dirinya telah menemukan arah yang baru, sebuah fokus yang tajam dan mematikan.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya. Bukan lagi dengan nada seorang murid yang bingung, melainkan dengan suara mantap seorang prajurit yang meminta perintah.
Lohgawe tersenyum penuh arti. Ia tahu, kailnya telah mengena. Benih takdir telah ditanam di tanah yang subur. "Pertama, dan ini yang paling sulit, kau harus mematikan dirimu yang sekarang."
"Mematikan diriku?" ulang Arok, tidak mengerti.
"Ya. Arok sang pemberontak, sang pahlawan dari gunung, harus lenyap ditelan bumi. Namanya harus mati, ceritanya harus berakhir. Kau harus lahir kembali sebagai pribadi yang baru, seseorang yang bisa diterima, bahkan dibutuhkan, di dalam istana," jelas Lohgawe. "Jalan ini akan penuh dengan duri dan pengorbanan. Kau mungkin harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nuranimu. Kau mungkin harus menunduk pada orang yang paling kau benci. Kau mungkin harus mengotori tanganmu dengan cara yang tak pernah kau bayangkan. Kau siap menanggung harganya?"
Tantangan itu adalah ujian terakhir. Sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban dari lubuk jiwa yang paling dalam. Arok bangkit berdiri, tubuhnya kini tegap dan memancarkan aura keyakinan yang luar biasa. Ia menatap lurus ke mata sang Brahmana, tanpa gentar.
"Demi membebaskan tanah ini dari cengkeraman tiran," jawabnya, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang berat. "Harga apapun akan kubayar."
"Bagus," kata Lohgawe, kepuasan terpancar dari wajahnya yang keriput. "Jika tekadmu sudah sekeras baja, temui aku saat fajar pertama menyingsing di Candi Watu Kembang, di perbatasan hutan ini. Kita akan memulai perjalananmu yang sesungguhnya. Perjalanan untuk mengubah seorang pemberontak menjadi seorang penakluk."
After saying those words, Brahmin Lohgawe turned around. With just a few steps, his white-robed body seemed to merge with the thin mist creeping from the waterfall, then disappeared into the darkness of the trees. He left as quickly and mysteriously as he had come, as if he had never been there.
Arok was left alone in front of the waterfall. The sound of the trickling water now sounded different to his ears. It was no longer just the sound of nature, but like music whispering a song of a new destiny, of the steep and bloody path that lay before him. His previously turbulent heart now felt calm, a frightening calm, a calm in the eye of the storm.
Tonight, he had come to the forest as a lost leader of a band. But he would leave it as a would-be conqueror, ready to step into his greatest and most dangerous destiny. The true war would soon begin, not on the mountainside, but within the bloody corridors of Tumapel Palace.
⭐⭐⭐🇮🇩⭐⭐⭐
Continued CHAPTER 05