Parahyangan Genta: The Song of Blood in the Land of Tumapel

Chapter 6: Chapter 006: Forging the Soul in the Silent Cave



6.1: Ganesha's Lesson

The journey down the slopes of Mount Kawi felt very different from previous ones. Normally, Arok moved with the speed and alertness of a panther, every muscle alert, every sense sharpened. His alert eyes scanned every clump of bamboo and shadow of rock, searching for traces of Tumapel's soldiers. His trained ears would be alert to the unnatural sound of a twig snapping or a sudden cessation of birdsong, a sign of an intruder. He was a predator in his territory.

But this time, he walked with the resigned stride of a pilgrim. His steps were heavy, not from fatigue, but from the weight of the decision he had just made. He no longer cared about external dangers. The enemy he faced now was far more terrifying, for it lay within himself. It was a shadow of his former self, Arok the leader, Arok the tiger, who constantly flashed through his mind, taunting and questioning his new path. Every step down the mountain felt like a betrayal of everything he had ever believed in. He had left the freedom of the wilderness to seek a golden cage full of intrigue.

The Watu Kembang Temple, their destination, was not a magnificent and well-maintained temple like those in the kingdom's center. It was merely an ancient stone ruin, nearly swallowed up by the dense jungle on the border. A silent reminder of a forgotten past glory. Only a few scattered piles of andesite stones, covered in thick emerald-green moss, and a Ganesha statue, half submerged in the ground by centuries of tree roots. The place was eerily silent, and felt eerie—both haunted and sacred. The air around it seemed heavier, holding the echoes of prayers and mantras from thousands of years ago.

There, Brahmin Lohgawe was waiting for him, just as he had promised. However, he was not in the position Arok had imagined. He was not sitting cross-legged or meditating in majesty. Instead, Arok encountered a strange sight. The old Brahmin was busy wiping away the thick moss covering the statue's face with a damp cloth dipped in a coconut shell filled with water. His movements were reverent and painstaking, as if he were bathing a baby king. Each stroke was gentle and full of feeling, removing the grime of time from the majestic stonework.

When Arok arrived and stood silently behind him, Lohgawe didn't immediately turn around. He seemed unaware or unconcerned by Arok's presence. He finished his work first, until Ganesha's wise face became more visible, his closed eyes seeming to smile in his long sleep.

"Kau tahu mengapa Ganesha, putra Siwa, selalu dihormati sebagai Wignesa, sang penyingkir segala rintangan?" tanya Lohgawe tanpa basa-basi, suaranya yang tenang dan dalam terdengar jelas di tengah kesunyian hutan.

Arok terdiam sejenak, terkejut oleh pertanyaan filosofis yang tiba-tiba. Ia hanya mengenal Ganesha sebagai dewa berkepala gajah yang dipuja orang-orang di desa, dewa yang patungnya sering diletakkan di persimpangan jalan atau di depan gapura. Ia tak pernah memikirkan makna di baliknya. "Hamba tidak tahu, Gusti Brahmana," jawabnya, secara naluriah menggunakan sebutan hormat yang baru ia dengar.

Lohgawe tersenyum, senyum yang mengandung kedalaman lautan. Ia bangkit perlahan, merapikan jubah putihnya yang sederhana. "Rintangan terbesar bagi seorang manusia bukanlah gunung yang tinggi atau lautan yang luas, Arok. Rintangan terbesar ada di dalam dirinya sendiri. Itulah Ahangkara, sang ego. Rasa 'aku'-lah yang membuat manusia menjadi sombong, marah, serakah, dan buta. Ganesha adalah simbol dari penaklukan ego itu."

Ia menunjuk ke arah arca dengan dagunya. "Lihatlah kepalanya yang besar seperti gajah. Itu adalah lambang dari pengetahuan dan kebijaksanaan yang luas. Sebelum melangkah, seorang pemimpin harus mengisi kepalanya dengan ilmu, bukan hanya dengan kekuatan. Ia harus berpikir, menimbang, dan merenung."

Lalu ia menunjuk ke arah telinga arca yang lebar seperti nyiru. "Lihatlah telinganya. Itu adalah lambang kemauan untuk mendengar lebih banyak daripada berbicara. Seorang pemimpin sejati adalah pendengar yang baik. Ia mendengar keluhan rakyatnya, ia mendengar nasihat para bijak, dan yang terpenting, ia mendengar suara nuraninya sendiri. Telinga yang lebar menyaring semua informasi, memisahkan antara yang benar dan yang salah, sebelum mulut yang kecil itu berbicara."

Pandangan Lohgawe beralih ke perut Ganesha yang buncit. "Dan lihatlah perutnya yang besar. Itu adalah lambang kemampuannya untuk 'mencerna' segala hal dalam kehidupan. Tidak hanya makanan yang baik, tetapi juga racun. Ia mampu menelan hinaan, pujian, kegagalan, dan kemenangan, lalu mencerna semuanya menjadi kebijaksanaan tanpa membiarkannya meracuni jiwa. Perutnya adalah lambang dari kesabaran dan ketenangan batin."

Lohgawe kemudian menatap Arok lekat-lekat. "Sebelum kau melangkah ke jalan barumu yang penuh racun dan hinaan, kau harus menjadi seperti Ganesha. Kau harus menanggalkan kepala harimaumu yang hanya dipenuhi naluri menyerang, dan menggantinya dengan kepala gajah yang penuh pertimbangan. Kau harus menutup mulutmu yang terbiasa memberi perintah, dan membuka telingamu untuk mendengar setiap bisik dan intrik. Dan kau harus melapangkan perutmu, agar sanggup menelan segala kepahitan dan perlakuan tidak adil tanpa meledak dalam amarah."

Arok merenungkan setiap kata-kata itu. Menjadi seperti Ganesha. Sebuah konsep yang begitu agung sekaligus begitu mustahil. Mampukah ia? Mampukah ia membuang semua yang telah membentuk dirinya selama ini? Harga diri, keberanian, naluri, semua itu adalah senjatanya untuk bertahan hidup. Dan kini ia diminta untuk melucuti itu semua.

"Sebuah pelajaran yang sangat berat, Brahmana," bisik Arok.

"Jalanmu adalah jalan yang berat, maka pelajarannya pun harus berat," jawab Lohgawe. "Sekarang, ikutlah aku. Pelajaran pertamamu telah selesai. Pelajaran keduamu akan segera dimulai."

Brahmana itu kemudian berjalan memasuki hutan ke arah yang tak pernah Arok duga sebelumnya. Bukan ke arah jalan setapak yang menuju desa, bukan pula kembali ke arah puncak gunung. Ia berjalan lurus ke arah sebuah tebing batu raksasa yang tampak buntu, yang selama ini Arok kira hanyalah dinding gunung biasa. Ketika mereka tiba di depan tebing itu, Lohgawe menyingkap tirai sulur-sulur yang lebat, menampakkan sebuah celah sempit yang tersembunyi, yang bahkan tak akan terlihat dari jarak beberapa langkah sekalipun.

"Masuklah," perintah Lohgawe.

Arok ragu sejenak. Celah itu tampak gelap dan menyesakkan. Namun, tatapan mata sang Brahmana yang tenang memberinya keyakinan. Ia menundukkan kepala dan memasuki celah itu, diikuti oleh Lohgawe dari belakang. Mereka berjalan menyusuri lorong batu yang gelap, lembap, dan berbau tanah purba. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari celah tempat mereka masuk, yang semakin lama semakin mengecil di belakang mereka. Lorong itu berkelok-kelok, kadang menurun, kadang menanjak. Udara di dalamnya terasa dingin dan pengap.

Setelah berjalan dalam kegelapan selama beberapa saat, Arok mulai melihat seberkas cahaya samar di depan. Semakin dekat, cahaya itu semakin terang. Dan akhirnya, lorong itu membawa mereka ke sebuah tempat yang membuat Arok menahan napas karena takjub.

Mereka keluar ke sebuah gua tersembunyi yang sangat luas, seperti sebuah aula istana bawah tanah. Langit-langit gua itu begitu tinggi hingga puncaknya nyaris tak terlihat dalam keremangan, ditembus oleh seberkas cahaya matahari dari sebuah lubang besar di atasnya. Cahaya itu jatuh tepat di tengah gua, menerangi sebuah kolam kecil dengan air yang begitu jernih laksana kristal cair, dasarnya yang berupa pasir putih berkilauan. Sinar matahari itu menciptakan suasana yang sakral dan magis, seperti sebuah panggung yang disiapkan oleh para dewa. Dinding-dinding gua dipenuhi stalaktit dan stalagmit yang terbentuk selama ribuan tahun, beberapa di antaranya berkilauan saat terkena pantulan cahaya. Gua ini adalah sebuah sanggar tersembunyi, sebuah tempat pertapaan yang sempurna, terisolasi sepenuhnya dari dunia luar.

"Tempat apa ini, Brahmana?" tanya Arok dengan suara berbisik, seolah takut mengganggu kesucian tempat itu.

"Orang-orang kuno menyebutnya Gua Garbha, yang berarti 'gua rahim'," jawab Lohgawe. "Mereka percaya, siapapun yang bersemedi di sini akan dilahirkan kembali dengan jiwa yang baru. Selama tujuh hari tujuh malam ke depan, tempat ini akan menjadi kawah candradimukamu. Di sinilah kau akan mati, dan di sinilah kau akan lahir kembali."

Lohgawe meletakkan tempurung kelapa yang ia bawa ke tepi kolam. "Kita tidak akan menempa tubuhmu. Tubuhmu sudah sekuat baja, bahkan mungkin lebih keras. Kita akan menempa sesuatu yang jauh lebih penting, sesuatu yang selama ini kau abaikan."

Ia menunjuk ke arah dada Arok. "Jiwamu."

Lalu ia menunjuk ke arah kepala Arok. "Watakmu."

Dan terakhir, ia menunjuk ke wajah Arok. "Dan wajahmu."

Arok menelan ludah. Ia merasakan firasat bahwa tujuh hari ke depan akan menjadi tujuh hari paling menyiksa yang pernah ia alami seumur hidupnya. Lebih menyiksa daripada kelaparan selama berhari-hari, lebih menyakitkan daripada luka sabetan pedang, lebih berat daripada memimpin puluhan orang dalam pertempuran. Ini adalah pertempuran melawan dirinya sendiri, dan ia tidak tahu apakah ia akan keluar sebagai pemenang. Pelajaran Sang Ganesha baru saja dimulai, dan ia sudah merasa begitu kecil dan tak berdaya.

***

6.2: Menghapus Wajah Harimau

Dan dimulailah proses yang paling brutal dan paling menyiksa yang pernah Arok alami seumur hidupnya. Ini bukanlah penyiksaan fisik yang mengoyak daging atau mematahkan tulang. Ini adalah sebuah dekonstruksi jiwa, sebuah pembongkaran kepribadian yang dilakukan helai demi helai, dengan presisi seorang ahli bedah yang dingin dan tanpa ampun. Lohgawe adalah sang ahli bedah, dan jiwa Arok adalah pasien yang terbaring pasrah di atas meja operasi.

Pada hari pertama, Lohgawe tidak mengajarkan apapun. Tidak ada pelajaran kanuragan, tidak ada mantra-mantra sakti, tidak ada wejangan filsafat yang rumit. Ia hanya menyuruh Arok duduk bersila di tepi kolam yang jernih itu, menghadap ke permukaan air yang tenang seperti cermin.

"Tataplah bayanganmu sendiri di permukaan air itu, Arok," perintah Lohgawe, suaranya menggema di dalam gua yang sunyi. "Tataplah wajah itu. Jangan palingkan pandanganmu. Kenali setiap guratannya. Selami setiap sorot matanya."

Arok menuruti perintah itu. Awalnya ia merasa konyol. Apa gunanya menatap wajahnya sendiri selama berjam-jam? Ia sudah mengenal wajahnya. Tapi seiring berjalannya waktu, saat matahari di atas lubang gua mulai bergeser, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Wajah yang tadinya terasa akrab, kini mulai tampak asing. Ia mulai melihat apa yang dimaksud oleh sang Brahmana.

Di bawah cahaya yang temaram, ia melihat sorot matanya yang liar dan tak mau tunduk, sorot mata seekor elang yang selalu mengawasi, selalu waspada. Ia melihat garis rahangnya yang keras dan tegas, sebuah garis yang terbentuk dari tekad dan perlawanan yang tak pernah padam. Ia melihat bibirnya yang selalu terkatup rapat, seolah menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Ia melihat kerutan samar di antara kedua alisnya, kerutan yang lahir dari beban pikiran dan kewaspadaan yang konstan. Ini adalah wajah seorang pemimpin. Wajah seorang pejuang. Wajah seorang pemberontak.

"Wajah itu," suara Lohgawe kembali terdengar dari belakangnya, seolah bisa membaca pikirannya. "Adalah sebuah buku yang terbuka. Siapapun yang terlatih di istana akan bisa membacanya dalam sekejap. Mereka akan melihat api di matamu, kekerasan di rahangmu, dan perlawanan dalam diammu. Wajah itu akan membuatmu terbunuh bahkan sebelum kau sempat menginjakkan kaki di pendapa istana. Kau harus menghapusnya. Kau harus mengosongkannya. Kau harus membunuhnya."

Selama sehari penuh, dari pagi hingga senja, Arok hanya duduk diam, menatap pantulan dirinya. Perlahan, ia tidak lagi hanya melihat, ia mulai membenci wajah itu. Ia membenci sorot mata itu karena itu adalah sumber masalahnya. Ia membenci rahang keras itu karena itu adalah simbol dari ketidakmampuannya untuk patuh. Ia harus mengubahnya, tetapi bagaimana? Bagaimana cara mengubah sesuatu yang telah menjadi bagian dari dirinya selama bertahun-tahun?

Pada hari kedua, penyiksaan beralih dari pengamatan pasif ke tindakan aktif. Lohgawe mulai mengajarkan hal yang paling sulit dan paling mendasar: cara bergerak. Cara berjalan, cara duduk, dan yang paling memalukan, cara menunduk.

"Berdirilah dan berjalanlah mengelilingi kolam ini," perintah Lohgawe. Arok berdiri dan berjalan seperti biasanya, dengan langkah tegap, pundak yang lurus, dan dada yang sedikit membusung. Itu adalah postur seorang pria yang percaya diri, seorang pemimpin.

"Salah!" bentak Lohgawe. "Itu adalah langkah seekor harimau yang sedang memamerkan wilayah kekuasaannya! Seorang abdi tidak berjalan seperti itu. Seorang abdi tidak memiliki wilayah. Ia hanya menumpang di wilayah tuannya."

Lohgawe kemudian memberi contoh. Ia berjalan dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa namun takzim, seolah selalu ada tugas penting yang menantinya. Pundaknya sedikit membungkuk ke depan, bukan karena tua, tetapi karena postur yang menunjukkan kerendahan hati. Kepalanya tidak tegak menatap lurus, melainkan sedikit menunduk, matanya seolah hanya fokus pada jalan beberapa langkah di depannya.

"Seorang abdi berjalan seolah ia meminta maaf atas ruang yang ia pakai," jelas Lohgawe. "Ia membuat dirinya sekecil mungkin, agar tidak menghalangi jalan tuannya. Sekarang, tiru aku."

Arok mencoba menirunya. Ia mencoba membungkukkan bahunya, tetapi rasanya begitu canggung, begitu palsu. Setiap kali ia mencoba membungkukkan punggungnya yang lurus, seluruh ototnya seolah memberontak. Itu adalah sebuah penghinaan terhadap jati dirinya, terhadap semua yang telah ia perjuangkan. Ia adalah Arok, sang penantang langit. Dan kini ia diminta untuk merangkak di bumi.

"Buang egomu, Arok!" tegur Lohgawe dengan suara yang lebih keras, seperti cambuk yang melecut. "Di dalam gua ini, kau bukan lagi Arok sang pemimpin! Kau adalah calon pesuruh, seorang budak! Lupakan kehormatan seorang ksatria! Kehormatanmu yang baru adalah kesetiaan buta pada tuanmu! Sekarang, tundukkan kepalamu! Lebih dalam! Tatap ujung sepatumu, bukan mata lawan bicaramu! Berjalan lebih cepat, tapi jangan sampai menimbulkan suara! Seolah kau adalah bayangan yang melintas!"

Berkali-kali Arok mencoba, dan berkali-kali pula ia gagal. Amarah dan rasa terhina bergejolak hebat di dalam dirinya. Beberapa kali ia nyaris menyerah. Ia ingin berteriak bahwa ia tak sanggup melakukan sandiwara menjijikkan ini. Lebih baik ia mati bertarung sebagai harimau daripada hidup sebagai tikus yang membungkuk.

Namun, setiap kali ia hampir meledak, setiap kali ia ingin meluruskan punggungnya dan menantang Brahmana tua itu, bayangan lain melintas di benaknya. Bayangan wajah-wajah rakyat Jatiwangi yang penuh harapan. Bayangan Tanca yang mempercayakan segalanya padanya. Bayangan Mahesa dan teman-temannya yang menunggu di lereng gunung. Perjuangan ini bukan lagi tentang harga dirinya. Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, menelan kembali rasa pahit di tenggorokannya, dan mencoba lagi. Ia berjalan berputar-putar mengelilingi kolam itu hingga kakinya lecet dan punggungnya terasa sakit, bukan karena lelah, tapi karena dipaksa berada dalam posisi yang tidak alami.

Hari ketiga adalah ujian lidah. Setelah tubuhnya dipaksa tunduk, kini pikirannya yang harus dijinakkan. Lohgawe mengajarinya cara berbicara.

"Suaramu terlalu dalam dan penuh wibawa," kata Lohgawe setelah menyuruh Arok mengucapkan beberapa kalimat. "Suara itu adalah suara seorang pemberi perintah. Seorang abdi tidak memiliki wibawa. Suaranya harus terdengar datar, sedikit lebih tinggi, seolah kurang tenaga, dan selalu diakhiri dengan nada yang menunjukkan kerendahan hati dan sedikit ketakutan. Kau harus mengubah cara bicaramu, atau mereka akan curiga."

Lohgawe kemudian mengajarinya kosakata baru. Kosakata seorang budak. "Ganti kata-katamu. Bukan 'aku', tapi 'hamba'. Bukan 'kau', tapi 'Tuan' atau 'Gusti'. Bukan 'ya', tapi 'sendika dawuh, Gusti'. Setiap kalimat harus memancarkan kepatuhan mutlak dan posisi dirimu yang rendah."

Untuk melatihnya, Lohgawe memberinya sebuah latihan yang aneh dan terasa gila. Ia menyuruh Arok berbicara pada dinding batu gua yang dingin dan tak bernyawa.

"Pujilah dinding itu," perintahnya. "Pujilah seolah ia adalah tuanmu yang paling agung. Katakan padanya betapa kokohnya ia, betapa agungnya ia, betapa beruntungnya dirimu bisa berlindung di bawah naungannya yang perkasa."

Arok merasa seperti orang gila. Ini lebih sulit daripada berjalan membungkuk. Namun, dengan tatapan tajam Lohgawe yang mengawasinya, ia tidak punya pilihan lain. Awalnya dengan suara yang kaku dan penuh keterpaksaan, ia mencoba.

"Gusti… Gusti Dinding Batu… hamba… hamba sangat mengagumi kekuatan Gusti…"

Lohgawe menggelengkan kepala dengan keras. "Salah! Sama sekali salah! Tidak ada getaran ketulusan di dalamnya! Suaramu masih suara seorang pemberontak yang sedang mengejek! Ulangi! Bayangkan nasib hidup dan matimu bergantung pada keridhaan dinding batu itu! Bayangkan jika ia tidak suka pujianmu, ia akan runtuh dan menimpamu hingga mati! Ulangi sampai aku bisa merasakan ketakutan dan penghormatanmu yang tulus padanya!"

Selama berjam-jam, gua yang sakral itu hanya diisi oleh suara Arok yang mencoba merangkai kata-kata pujian yang menjemukan dan menjilat. Ia memuji warna batu itu, lumut yang tumbuh di atasnya, kesejukan yang diberikannya. Sementara Lohgawe terus-menerus mengoreksi intonasinya, pilihan katanya, hingga jeda napas di antara kalimatnya. Ini adalah sebuah penyiksaan batin yang luar biasa, sebuah penghancuran sistematis terhadap cara berpikirnya yang lugas dan jujur.

Pada hari keempat, ujian menjadi semakin berat. Setelah tubuh dan lidahnya ditempa, kini giliran wajahnya. Ujian mengendalikan raut muka, topeng yang paling sulit untuk dikenakan.

"Senyum," kata Lohgawe tiba-tiba, saat Arok sedang beristirahat.

Arok mencoba tersenyum, namun yang muncul di wajahnya yang lelah adalah sebuah seringai kaku yang lebih mirip ekspresi kesakitan.

"Bukan senyum seorang pemenang! Bukan senyum seorang kawan! Tapi senyum seorang pelayan!" bentak Lohgawe. "Senyum yang tidak mencapai mata. Senyum yang hanya merupakan tarikan otot bibir untuk menyenangkan hati tuanmu. Senyum yang berkata, 'hamba bahagia melayani Gusti,' meskipun hatimu sedang menangis. Latih itu!"

Kemudian, untuk menguji pengendalian dirinya, Lohgawe melakukan hal yang paling kejam. Ia mulai menghina Arok dengan kata-kata yang paling kasar dan merendahkan, kata-kata yang bahkan musuh bebuyutannya pun tak pernah ucapkan. Ia mencaci maki asal-usulnya yang tak jelas, menyebutnya anak haram yang dipungut dari kuburan, sampah masyarakat, durjana yang tak pantas hidup.

Darah Arok yang mudah mendidih langsung terpancing. Naluri harimaunya mengaum. Wajahnya seketika memerah karena amarah, rahangnya mengeras hingga giginya bergemeletuk, dan kedua tangannya terkepal erat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangannya.

"Lihat!" seru Lohgawe sambil menunjuk sebuah bagian dinding gua yang basah dan memantulkan bayangan seperti cermin buram. "Lihat wajahmu itu! Lihat wajah harimau yang siap menerkam itu! Jika kau menunjukkan wajah seperti itu di istana saat dihina oleh seorang bangsawan rendahan sekalipun, kepalamu akan terpisah dari badanmu sebelum kau sempat berkedip!"

Lohgawe tidak berhenti. Ia melanjutkan hinaannya, semakin menjadi-jadi. "Kau pikir kau siapa? Pahlawan? Kau hanya seekor tikus got yang bersembunyi di gunung! Kau pengecut! Kau lari dari pertempuran yang sesungguhnya! Bahkan teman-temanmu pun pasti menganggapmu pengkhianat sekarang!"

Setiap kata adalah cambuk api yang menyabet harga diri Arok. Kata-kata terakhir itu, tentang teman-temannya, adalah yang paling menyakitkan. Namun kali ini, Arok mencoba mengingat pelajarannya. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, menatap lantai gua. Ia menggigit lidahnya hingga terasa asin oleh darah. Ia memaksa otot-otot di wajahnya untuk lemas. Ia memaksa tangannya yang terkepal untuk terbuka. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ini adalah pertarungan paling sengit yang pernah ia hadapi. Bukan pertarungan melawan musuh di luar, tetapi pertarungan melawan iblis amarah di dalam dirinya sendiri. Ia harus menang. Ia harus membunuh harimau itu.

***

6.3: Lahir Kembali dari Air Sunyi

Hari kelima dan keenam adalah puncak dari penempaan jiwa ini, sebuah proses yang mengalihkan fokus dari fisik dan emosi ke ranah yang lebih tinggi: pikiran dan siasat. Lohgawe, sang Brahmana, kini berubah dari seorang pelatih yang kejam menjadi seorang guru yang analitis. Ia mulai mengajarkan Arok tentang ilmu tata negara dan psikologi kekuasaan, hal-hal yang sama sekali baru dan asing bagi seorang anak gunung sepertinya.

"Dengar, Arok. Kekuasaan itu seperti pohon beringin raksasa di tengah alun-alun," jelas Lohgawe sambil menggambar di atas tanah gua yang lembap dengan sebatang ranting. "Ia tampak kokoh, agung, dan memberikan keteduhan bagi siapa saja yang bernaung di bawahnya. Tapi jangan tertipu. Ia hidup dari menghisap semua sumber kehidupan di sekitarnya. Akarnya yang rakus menyebar ke segala penjuru, membunuh tanaman-tanaman kecil di sekelilingnya agar ia bisa tumbuh semakin besar."

Arok mendengarkan dengan saksama, pikirannya menyerap setiap kata seperti tanah kering.

Lohgawe menggambar sebuah batang pohon yang besar dan kokoh. "Ini adalah Tunggul Ametung. Ia adalah pusatnya. Tapi sebuah batang tidak bisa berdiri sendiri. Ia ditopang oleh akar-akar utama yang mencengkeram bumi. Para kepala prajurit, para penasihat istana, para pemuka agama yang bisa dibeli, dan para saudagar kaya yang bersekongkol dengannya. Itulah akar-akarnya. Merekalah yang memberikan kekuatan dan legitimasi pada sang Akuwu."

"Tugas pertamamu di istana nanti bukanlah untuk mendekati Tunggul Ametung. Itu mustahil. Orang sepertimu tidak akan pernah bisa berada dalam jarak sepuluh langkah darinya," kata Lohgawe dengan tajam. "Tugasmu adalah mengamati dan mengidentifikasi akar-akar ini. Siapa yang paling berpengaruh? Siapa yang paling serakah? Siapa yang paling bodoh dan mudah dihasut? Dan yang terpenting, siapa di antara mereka yang sebenarnya menyimpan kebencian atau ketidakpuasan terhadap sang Akuwu? Karena di setiap istana, selalu ada ular yang menunggu saat yang tepat untuk mematuk tuannya."

Lohgawe mengajarinya cara membaca bahasa tubuh: bagaimana lirikan mata bisa berarti ancaman, bagaimana senyum bisa menyembunyikan rasa jijik, bagaimana posisi duduk bisa menunjukkan hierarki kekuasaan yang sesungguhnya. Ia mengajarinya cara menangkap makna tersirat dari sebuah percakapan, cara membedakan antara pujian yang tulus dan pujian yang beracun yang sengaja ditebar untuk menjatuhkan lawan.

"Di istana, Arok, tidak ada kawan sejati. Yang ada hanyalah kepentingan yang sama. Temukan orang-orang yang kepentingannya, walau hanya sesaat, bisa selaras dengan kepentinganmu. Jangan tunjukkan kekuatanmu. Orang yang kuat akan dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, tunjukkan kegunaanmu. Jadilah orang yang bisa diandalkan untuk tugas-tugas kecil yang dianggap remeh oleh orang lain. Jadilah pendengar yang baik saat para pembesar sedang mabuk dan mengeluh. Jadilah bayangan yang selalu ada tapi tidak pernah dianggap penting. Karena dari posisi itulah, dari posisi yang paling rendah, kau bisa melihat segalanya tanpa dicurigai."

Arok menyerap setiap kata Lohgawe. Dunianya yang selama ini hanya hitam dan putih—kawan dan lawan, benar dan salah—kini menjadi penuh dengan warna abu-abu yang rumit dan membingungkan. Pertarungan ternyata bukan hanya soal adu pedang dan kekuatan fisik, tetapi juga adu siasat, kesabaran, dan kelicikan. Ia merasa seperti sedang mempelajari sebuah bahasa baru, bahasa kepalsuan.

Pada hari ketujuh, hari terakhir dari penempaan ini, tidak ada lagi pelajaran. Tidak ada lagi hinaan. Tidak ada lagi latihan. Gua itu kembali sunyi. Lohgawe hanya berdiri di tepi kolam, menatap Arok yang duduk kelelahan dengan tubuh dan jiwa yang terasa babak belur.

"Sekarang, masuklah ke dalam kolam itu," kata sang Brahmana, suaranya kembali tenang dan lembut. "Berendamlah hingga fajar menyingsing esok hari. Air dari jantung Kawi ini akan menyucikanmu."

Arok menatap Lohgawe, lalu ke arah kolam yang airnya jernih dan dingin.

"Bersihkan sisa-sisa dirimu yang lama di dalam air itu," lanjut Lohgawe. "Tinggalkan Arok sang harimau di dasar kolam ini. Biarkan ia tenggelam bersama semua kebanggaan, amarah, dan masa lalunya. Saat kau keluar dari air ini besok pagi, Arok sang pemberontak telah mati. Yang lahir adalah seorang pemuda tanpa nama, tanpa masa lalu, yang datang ke Tumapel untuk mencari penghidupan. Siap untuk mengabdi pada siapapun yang memberinya makan."

Tanpa berkata-kata, Arok bangkit. Ia melepaskan pakaiannya yang sederhana, menyisakan cawat yang melekat di tubuhnya. Ia berjalan perlahan ke dalam kolam. Airnya yang dingin terasa menusuk tulang, membuat setiap pori-pori kulitnya terkejut. Namun ia terus melangkah hingga air mencapai lehernya. Ia kemudian menenggelamkan seluruh tubuhnya, duduk bersila di dasar kolam yang berpasir putih.

Dalam keheningan total di bawah permukaan air, di mana satu-satunya suara adalah detak jantungnya sendiri, ia memutar kembali semua pelajaran selama tujuh hari terakhir. Ia melihat lagi pantulan wajahnya yang liar. Ia merasakan lagi rasa malunya saat berjalan membungkuk. Ia mendengar lagi suaranya sendiri yang kaku saat memuji dinding batu. Ia merasakan lagi panasnya amarah dan hinaan saat dicaci maki.

Setiap kenangan itu adalah sebuah sayatan. Namun kali ini, ia tidak melawannya. Ia menerimanya. Ia membiarkan rasa sakit itu mengalir masuk, lalu melepaskannya ke dalam air di sekelilingnya. Ia merasakan egonya yang sekeras batu perlahan-lahan terkikis. Amarahnya yang seperti api membara kini mendingin. Jiwanya yang tadinya bergejolak hebat seperti lautan badai, kini mulai menemukan sebuah pusat ketenangan yang baru, sebuah kekosongan yang dalam dan damai.

Ia sedang mati.

Setiap tarikan napas yang ia ambil dari permukaan adalah napas terakhir bagi Arok yang lama. Setiap hembusan napas ke dalam air adalah pelepasan masa lalunya. Ia melepaskan kenangan tentang Tanca, tentang Mahesa, tentang perjuangan mereka. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk menyimpannya di dalam sebuah ruang rahasia di hatinya, sebuah ruang yang tidak akan bisa disentuh atau dibaca oleh siapapun di istana nanti.

Malam itu terasa begitu panjang. Di bawah air, Arok tidak lagi merasa dingin. Ia merasa menjadi satu dengan air itu, menjadi bagian dari keheningan gua itu, menjadi noktah kecil dalam kebesaran alam semesta. Ia tidak lagi memiliki nama. Ia tidak lagi memiliki tujuan. Ia hanyalah sebuah kesadaran yang mengambang dalam kekosongan.

Ia sedang dilahirkan kembali.

Ketika seberkas cahaya fajar pertama yang berwarna keperakan menyentuh bibir gua dan merambat turun, membelah kegelapan, Arok membuka matanya di dalam air. Ia bangkit perlahan, memecah permukaan air yang tenang.

Sosok yang keluar dari dalam kolam itu bukanlah lagi Arok yang sama yang masuk tujuh hari yang lalu. Tubuhnya mungkin masih sama kekarnya, tetapi auranya telah berubah total. Rambutnya yang gondrong dan liar kini tampak basah dan lurus, seolah telah dijinakkan. Wajahnya yang tadinya keras dan penuh perlawanan kini tampak lebih tirus, lebih pasrah.

Dan yang paling penting, sorot matanya telah berubah. Api yang liar dan penuh kebanggaan itu telah padam. Digantikan oleh sebuah kekosongan yang tenang, tatapan seorang abdi yang patuh, yang tidak berpikir, yang hanya menunggu perintah. Tatapan mata yang tidak berbahaya.

Lohgawe, yang telah duduk bersila sepanjang malam mengawasinya, mengamati proses kelahiran kembali itu dari kejauhan. Ia mengangguk puas. Penempaan itu telah selesai. Baja liar dari lereng Kawi telah berhasil dibengkokkan, ditempa, dan dibentuk menjadi sebilah pisau tipis yang mematikan karena ia tersembunyi di balik penampilan yang tumpul.

Arok berjalan keluar dari kolam, tubuhnya yang basah berkilauan di bawah cahaya fajar. Ia berhenti di hadapan Lohgawe, namun ia tidak menatap mata sang Brahmana. Ia langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebuah gerakan yang kini terasa alami dan tidak lagi canggung. Tatapannya terpaku pada ujung kakinya sendiri, punggungnya sedikit membungkuk. Ia adalah perwujudan sempurna dari seorang hamba.

"Siapakah namamu, Anak Muda?" tanya Lohgawe dengan suara datar. Ini adalah ujian terakhir. Sebuah pertanyaan sederhana untuk menguji apakah transformasi itu telah sempurna.

Arok tidak langsung menjawab. Ia mengambil jeda sesaat, seolah sedang berpikir keras, seperti seorang hamba yang takut salah bicara di hadapan tuannya. Lalu, dengan suara yang telah ia latih—suara yang datar, sedikit lebih tinggi, dan penuh dengan kerendahan hati—ia menjawab.

"Hamba tidak punya nama, Gusti Brahmana. Hamba hanyalah seorang pengembara tanpa asal-usul, yang datang ke tanah Tumapel yang agung untuk mencari penghidupan. Hamba siap mengabdi pada siapapun yang berbelas kasihan untuk memberi hamba makan dan tempat berteduh."

Lohgawe tersenyum. Senyum yang tulus dan penuh kelegaan. "Bagus. Sangat bagus."

Ia bangkit berdiri dan menepuk pundak Arok. "Arok sang harimau telah mati di dasar kolam itu. Sekarang, pergilah. Pergilah ke kota. Jangan mencari pekerjaan di istana. Itu akan terlalu mencurigakan. Carilah pekerjaan sebagai pelayan atau penjaga di rumah salah satu bangsawan atau saudagar kaya. Dari sanalah jalanmu akan terbuka."

Lohgawe kemudian memberikan sebuah kantung kulit kecil. "Ini sedikit bekal untukmu. Dan ingatlah pelajaran Sang Ganesha. Lapangkan perutmu, buka telingamu, dan gunakan kepalamu. Nasib Tumapel kini ada di tanganmu."

Tanpa menunggu jawaban, Brahmana Lohgawe berbalik. Dengan langkah yang ringan, ia berjalan menuju lorong gelap tempat mereka datang. Sebelum menghilang, ia berhenti dan menoleh untuk terakhir kalinya.

"Satu hal lagi," katanya. "Kau memang bukan lagi harimau. Tapi jangan lupa, seekor laba-laba yang paling sabar sekalipun, memiliki racun yang paling mematikan. Gunakan racunmu dengan bijaksana."

Dan kemudian, ia pun lenyap, meninggalkan Arok seorang diri di dalam gua yang sunyi.

Arok berdiri diam untuk waktu yang lama. Ia menatap tangannya, lalu menatap bayangannya di kolam. Wajah yang menatap balik adalah wajah seorang asing. Ia merasa hampa, namun di dalam kehampaan itu, ada sebuah tekad yang dingin dan sekeras berlian.

A spider is now ready to begin weaving its web in the heart of the most magnificent and yet most rotten palace in all of Java. And no one will notice its presence until it's too late.

⭐⭐🇮🇩🇮🇩⭐⭐

Continued CHAPTER 07


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.