Marvel Dc: Pahlawan Bajingan

Chapter 4: Bab 4



baca bab 15 di;

patréon.com/mizuki77

-----

"Ya, siapa kalian berdua?" Sarah menjawab sopan dengan lemah lembut. Dengan sikap penuh hormat serta menyenangkan ini, tak heran Sarah mampu mengajar Steve dengan baik.

Di sisi lain Steve memandang dua orang asing itu dengan penasaran, nampaknya pihak lain masih seorang siswa.

Walaupun menaruh tatapan curiga, Steve tetap diam dan berdiri di belakang ibunya, mengawasi dengan tenang.

"Saya Yves, siswa SMA Brooklyn, ini teman saya Olly."

"Kebetulan saya memang ingin membeli barang bekas, melihat anda dari jauh, saya berpikir bahwa anda akan menjual Tv anda." Yves menjelaskan tujuannya.

Sarah berkedip beberapa kali, setelah itu meletakkan Tv yang dibawa oleh Steve di tanah. "Ini adalah Tv rumah kami, saya baru saja kehilangan pekerjaan dan membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup."

Yves mengangguk paham, setelah itu bertanya; "Bisakah aku mengeceknya terlebih dahulu?"

"Tentu, anda bisa melihatnya, Tv ini baru digunakan selama satu tahun." Sarah mengangguk setuju.

Yves berjongkok dan mulai memeriksa Tv itu dengan cepat, "Tidak buruk, Tv ini masih tergolong baru, saya akan membayar anda seratus dollar untuk ini. Bagaimana?"

Yves langsung mengeluarkan penawarannya. Mendengar hal ini Sarah mulai berpikir.

"Jika anda menjualkannya ke orang lain atau pengepul barang bekas, mungkin Tv ini hanya akan laku terjual dengan harga lima puluh sampai enam puluh dollar saja." Yves menjelaskan hal tersebut dengan sangat profesional. Tentunya penawaran ini sangat mudah untuk diterima.

Benar saja, beberapa saat kemudian Sarah langsung mengangguk setuju. "Oke, tapi kita memerlukan transaksi tunai, aku tak ingin menukarnya dengan barang lain."

Yves mengangguk; "Tidak masalah, tapi saya butuh bantuan anda untuk mengantarkan benda ini ke rumah, rumahku tak jauh dari sini."

"Silahkan ikut denganku jika anda mempercayai saya."

Sarah terlihat sedikit ragu-ragu, bagaimanapun dia tak tahu apakah pihak lain adalah orang baik atau bukan.

Saat melihat ketidak tentuan ibunya, Steve melangkah ke depan. "Tidak apa-apa, bu. Saya pikir mereka bukan orang jahat, ayo pergi, hal ini tak akan memakan banyak waktu."

Mendengar perkataan putranya, Sarah hanya bisa mengangguk setuju.

Jika dia sendirian, tentunya dia tak akan berani mengikuti dua pria asing itu. Wanita dewasa sepertinya memiliki banyak pengalaman sosial, tentunya dia sangat hati-hati.

Empat orang itu berjalan cepat menuju sebuah daerah perumahan. Orang yang mampu tinggal di daerah ini tentunya memiliki ekonomi yang tak terlalu buruk.

Setelah beberapa menit, di depan jalan muncul sebuah rumah kayu tiga lantai yang baru saja direnovasi, rumah itu adalah rumah milik Yves.

Sekarang dia tinggal sendirian di sana, tapi bukan berarti dia tak memiliki saudara, saudara perempuannya bekerja di sebuah kantor polisi yang mana mengharuskannya tinggal di asrama.

Dari awal penyebrangannya ke dunia ini sampai sekarang, Yves masih belum pernah bertemu dengan saudara perempuannya tersebut.

"Duduklah terlebih dahulu, anggap saja sebagai rumah anda sendiri."

"Hei, Olly, kamu bisa menaruhnya di sini, terima kasih atas bantuannya. Beri tahu Bibi Barra bahwa aku akan ikut makan malam malam ini." Yves mengundang Steve dan Sarah untuk duduk di ruang tamu. Setelah itu dia berjalan ke kamarnya untuk mengambil uang.

Olly meletakkan barang-barang belian temannya dengan nafas sedikit terengah-engah.

"Yves, kamu bajingan, ingatlah untuk mentraktirku makan besok."

"Juga, aku perlu air!" Olly yang kelelahan langsung mengambil air di rumah Yves tanpa pamrih. Setelah lega, dia langsung pergi dan kembali ke rumahnya sendiri.

Di sisi lain Steve melihat sekelilingnya dengan rasa ingin tahu, kondisi rumah ini sangat baik, bahkan membuatnya merasa sedikit iri.

Dengan rumah sebesar ini, bahkan keluarga berisi delapan orang akan muat.

Anehnya rumah ini terlihat sangat kosong, seperti hanya pria pembeli itu lah yang tinggal di rumah ini.

Matanya melihat ke arah lain, di atas meja terdapat barang-barang mekanik kecil yang berserakan.

Beberapa saat kemudian, Yves turun dari lantai atas dengan uang yang dia janjikan. Setelah membayarkan uang itu kepada Sarah, Eddie langsung menuangkan secangkir kopi untuk mereka berdua.

"Tolong nikmati kopinya, jangan sungkan-sungkan." Eddie menawarkan dengan senyum lembut.

"Bisakah kita mengobrol sebentar?" Tanya Yves.

"Tentu." Sarah mengangguk.

"Kebetulan saya memiliki pekerjaan lain untuk anda."

"Sebuah pekerjaan? Pekerjaan seperti apa itu, pak?" Setelah mendengar kata-kata 'Pekerjaan', Sarah langsung memanggil pihak lain dengan gelar kehormatan.

Sangat sulit untuk mencari pekerjaan di masa Depresi Hebat seperti sekarang ini.

Baru kemarin Agen tenaga kerja Wall Street mengumumkan bahwa mereka ingin memperkerjakan lima puluh orang karyawan, hasilnya lima ribu orang menghadiri wawancara tersebut!

Hal ini adalah bukti bahwa ekonomi tahun ini sangatlah hancur!

"Saya ingin menanyakan sesuatu kepada anda terlebih dahulu, berapa banyak orang di keluarga anda? Pekerjaan seperti apa yang telah anda lakukan sebelumnya? Juga, tolong beritahu aku nama serta usia anda." Yves langsung bertanya banyak dengan nada profesional.

Yves sangat tahu bahwa ekonomi Amerika tak akan membaik setidaknya sampai perang dunia ke-dua pecah. Bagi sebuah keluarga, pekerjaan yang stabil adalah keharusan untuk mencukupi kebutuhan makan dan minum.

"Nama saya Sarah, saya berusia empat puluh tahun, dan ini putra saya, Steve."

"Hanya ada kami berdua di keluarga kita, saya dulu bekerja sebagai perawat di sebuah klinik swasta."

Sarah melanjutkan; "Tapi klinik itu telah tutup, dan saya kehilangan pekerjaan saya. Saya dapat mengobati luka, merawat orang tua serta memasak!" Sarah terlihat cukup gugup. Dia merasa seperti sedang melakukan wawancara dengan seorang perekrut.

Ini adalah kesempatan penting untuk menentukan pendapatan keluarga mereka, dia harus memanfaatkan kesempatan ini dengan penuh!

Yves mengangguk sambil mencatat beberapa detail di sebuah notebook. "Aku mengerti, bagaimana dengan suami anda?" Mendengar pertanyaan sensitif ini membuat mata Sarah bersinar dengan jejak kesedihan, nampak tak bisa menjawab pertanyaan sulit yang dilontarkan pria itu.

Steve yang selama ini diam langsung menjawab; "Meninggal, ayahku adalah seorang prajurit militer Infantry nomor-107, beliau meninggal karena gas Mustard saat Perang Dunia Pertama pecah."

"Jadi begitu, nampaknya ibu anda seorang Janda..."

-----

dukung saya di;

patréon.com/mizuki77

ko-fi.com/mizuki77


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.