Chapter 3: 3
Tidak lama kemudian mereka sampai di Kota Elvaria.
Sebuah kota tersembunyi di tengah hutan berkabut abadi, tempat para elf tinggal dalam harmoni, keheningan, dan kesucian yang dijaga turun-temurun. Tak sembarang orang bisa masuk. Tapi setelah beberapa pemeriksaan ... pintu itu terbuka pelan.
Saat mereka melintasi gerbang luar, perasaan aneh langsung menyelimuti mereka berdua.
Elvaria tidak seperti desa atau kota manusia biasa. Bangunan-bangunannya tidak dibangun, melainkan ditumbuhkan—dari pohon-pohon besar yang direkayasa secara spiritual, menjulang dengan struktur yang indah dan simetris. Menara-menara berbentuk spiral menjulang, jembatan-jembatan akar menggantung di udara, dan lentera-lentera kristal melayang bebas menerangi lorong-lorong jalan.
Udara di sini… harum bunga, tanah basah, dan... sedikit aroma seperti dupa yang membangkitkan ketenangan.
---
Sugi memandang sekeliling dengan rasa kagum, lalu bergumam,
"Tempat ini seperti taman surgawi... tapi anehnya, dingin. Seperti... terlalu suci."
Lira, yang berdiri di sampingnya, memeluk lengannya erat. "Wajar. Elf terkenal menahan diri. Mereka percaya sentuhan fisik berlebihan bisa mengganggu keselarasan jiwa."
Sugi menyeringai. "Lalu kalau aku menyentuhmu terus di sini, mereka bakal lempar aku ke penjara, ya?"
Lira mencubit perutnya. "Kalau di tempat umum, ya. Tapi... kalau di dalam penginapan, aku bahkan akan bantu kau bersuara."
---
Akhirnya mereka mencari penginapan
Penginapan elf yang mereka temukan bernama "Aravan's Silence"—terletak di bawah akar pohon raksasa, dengan dinding dari kulit kayu hidup dan lantai dari anyaman daun mengeras. Pelayan wanita elf yang menyambut mereka terlihat cantik, dingin, dan menjaga jarak seolah menyentuh napas tamu saja adalah dosa besar.
Tapi mereka tak ditolak.
Elf menghargai ketenangan. Dan mereka melihat Lira sebagai tamu dengan 'ikatan jiwa' terhadap pasangannya. Itu dianggap "sah" di mata spiritual Elvaria.
Mereka diberi kamar.
Dan begitu pintu tertutup...
---
Langit-langit kamar menggantungkan lentera lembut berwarna hijau muda. Aroma herbal tipis menyelimuti ruangan.
Sugi mendorong Lira pelan ke tempat tidur berbahan anyaman akar yang lentur tapi empuk. Ia mencium lehernya, lalu naik ke telinga dan membisikkan,
"Di kota penuh larangan ini... aku ingin kau berteriak."
Lira menggelinjang, matanya setengah tertutup. "S-stamina mu... terlalu banyak…apakah kamu tidak lelah setelah perjalanan"
Sugi membekap mulutnya dengan ciuman panas. Tangannya menjelajah ke bawah, menyentuh titik-titik yang sudah ia hafal semalam. Lira terengah, tubuhnya gemetar, dan ketika akhirnya Sugi menyatu kembali dengannya…
Tak ada suara keras.
Tapi ranjang kayu hidup itu bergetar perlahan... dan lentera di langit-langit bergoyang seperti detak nafas mereka menyatu.
Malam penuh bisikan dan desir tubuh pun terjadi sekali lagi.
---
🌙 PAGI SETELAHNYA
Sugi terbangun dengan punggung Lira masih di pelukannya, telanjang dan berkeringat pelan, meski udara Elvaria sejuk.
Tapi di dalam benaknya... sebuah suara muncul.
> [Misi Sistem Aktif: "Taklukkan Seraphina, Ksatria Perawan"]
Syarat: Buka "fantasi tersembunyi" dan aktifkan kontak emosional pertama. Waktu: 3 Hari.
---
"Fantasi tersembunyi...?"
Sugi duduk, mengusap wajahnya.
"Dia bahkan belum kutemui. Gimana aku tahu fantasinya, apalagi menyentuh emosinya?"
Ia memandangi jendela. Kota ini terlalu sunyi. Terlalu teratur. Terlalu... anti-seksual. Bagaimana mungkin di tengah masyarakat seperti ini, ada wanita dengan fantasi terpendam?
---
Setelah sarapan, mereka berjalan ke pasar elf. Lira sibuk melihat-lihat anting kristal dan buah spiritual, sementara Sugi mulai mengamati sekeliling… mencoba menebak mana yang mungkin bernama Seraphina.
Tapi justru ketika ia menunduk memungut sesuatu dari tanah—sebuah bros kecil berbentuk daun, jatuh entah dari mana—sebuah suara dingin menyapanya:
"Letakkan itu. Itu bukan milikmu."
Sugi menoleh.
Di hadapannya berdiri seorang wanita elf berambut perak panjang, mengenakan baju zirah putih bersinar seperti kristal. Matanya biru dingin, tajam seperti mata pedang yang tak pernah mengalah.
Wajahnya sangat cantik. Sempurna. Tapi datar. Tak menampilkan sedikit pun ketertarikan. Bahkan… penghinaan.
Seraphina.
Tanpa ragu.
---
"Maaf," ucap Sugi, menyerahkan bros itu. "Kupikir tadi barang hilang."
Seraphina mengambilnya tanpa menyentuh tangannya.
"Kau bukan dari sini. Aku bisa mencium napas liar dari tubuhmu. Bahkan dari jauh."
Sugi mengangkat alis. "Kau mencium napasku?"
"Figuratif. Tidak lucu."
Ia berbalik tanpa menunggu balasan, meninggalkan Sugi yang masih berdiri dengan alis terangkat.
---
> [Sistem: Kontak Awal Terdeteksi]
Status: "Dingin, Menutup Diri, Tapi Rawan Pecah Jika Didorong dengan Fantasi yang Cocok"
Petunjuk: Seraphina menyimpan trauma terhadap "cinta yang tak terkendali." Tugasmu: Bangkitkan emosi dan tawarkan cinta yang tidak menyerang, tapi membakar perlahan.
--
Sugi menatap punggung Seraphina yang menjauh, rambut peraknya bergoyang ringan di bawah sinar kristal-kristal elfwood.
Wajah itu... tatapan itu... seperti patung es yang menyimpan bara kecil di dalamnya.
"Kau menyembunyikan sesuatu... dan aku ingin tahu apa itu," pikirnya.
Lira mendekat perlahan, ekspresi wajahnya tak seceria biasanya.
Lira memandang sosok Seraphina dalam diam, lalu bergumam lirih,
"Dia... cantik. Dan dingin. Kamu tertarik padanya, ya?"
Sugi menoleh, tapi belum sempat bicara, Lira lebih dulu melanjutkan—dengan suara rendah yang nyaris tak terdengar:
"Aku tahu aku bukan satu-satunya wanita di dunia ini... tapi aku juga bukan seseorang yang bisa dengan mudah... dibagi."
Sugi terdiam. Bukan karena tak bisa menjawab, tapi karena ia tahu, kata-kata apa pun bisa terasa salah.
Lira menggenggam tangannya erat. "Kalau kamu benar-benar ingin... menyentuh wanita lain, pastikan kau tahu apa artinya bagiku."
Ia melepaskan genggaman itu perlahan dan berbalik, berjalan lebih dulu menuju penginapan, tanpa menoleh lagi.
---
Sugi berdiri sendiri beberapa detik, mengembuskan napas panjang.
Bukan karena kesulitan misi. Tapi karena konsekuensi emosionalnya jauh lebih rumit daripada sekadar 'menyelesaikan target'.
> [Sistem EROS: Emosi Pasangan Terdeteksi – Ketidakpastian & Potensi Konflik]
[Catatan: Perkembangan hubungan tidak hanya diukur dari seksualitas, tapi dari kejujuran dan perlindungan emosional.]
[Efek Baru Tersedia: "Empathic Link" – Merasakan denyut emosi pasangan utama.]
Sugi mengusap wajahnya, lalu tersenyum miris.
"Sepertinya... ini akan lebih sulit dari yang kupikir."
Langkah kaki Sugi terasa lebih berat dari biasanya.
Ia menyusuri jalan batuan putih Elvaria dengan Lira yang berjalan setengah langkah di depannya—bahunya tegang, ekornya tak bergoyang seperti biasa, dan telinganya cenderung menunduk, bukan berdiri tegak.
Suasana pagi begitu indah: sinar matahari lembut menyelusup melalui dedaunan ungu muda, angin membawa aroma madu elfwood, dan musik gesek halus mengalun dari arah pusat kota. Namun tak satu pun itu terasa utuh... karena Lira tak menggenggam tangannya seperti biasanya.
Keheningan di antara mereka—lebih mencekik daripada jeritan musuh.
---
Di depan, sebuah jembatan akar alami melintang di atas kolam biru kristal. Di sinilah Lira berhenti. Ia berdiri di tepi, memandang air bening itu. Sugi menyusul, berdiri di sampingnya, diam. Menunggu.
Beberapa detik hening.
Akhirnya Lira berkata, tanpa menoleh.
"Aku tahu kau tak pernah bilang kau mau wanita lain... Tapi aku juga bukan bodoh."
Nafas Sugi membeku.
Lira melanjutkan, suara lembut tapi bergetar.
"Kau... menatapnya dengan mata yang sama saat pertama kali menatapku. Dan itu... menyesakkan."
---
Sugi ingin menyangkal, tapi bibirnya tak bergerak.
Lira menunduk lebih dalam, suaranya nyaris teredam angin.
"Aku tahu ini ... aku tahu kau bisa punya segalanya. Tapi bisakah kau... jangan buat aku merasa seperti pilihan pertama yang segera dilupakan?"
Sugi akhirnya memutar tubuhnya, meraih bahunya, dan membalikkan tubuh Lira untuk menghadapnya. Wajah gadis itu memerah karena marah... dan mungkin... karena ingin menangis.
Sugi menatap langsung ke matanya.
"Kau bukan pilihan pertama. Kau… adalah pilihan satu-satunya yang membuatku merasa hidup."
---
Lira memeluk Sugi mendadak—keras dan dalam—seperti ingin menenggelamkan perasaannya sendiri dalam tubuh pria itu.
"S-Sialan… kenapa kata-kata bodohmu bisa bikin aku basah..." desisnya.
Sugi tersenyum kecil. "Mau kubantu mengeringkannya?"
Lira menyeringai licik dan menariknya ke semak tinggi di balik jembatan.
---
Tempat itu tersembunyi dan alami, dengan dinding akar dan rumput empuk. Tanpa ragu, Lira mendorong tubuh Sugi ke tanah dan duduk di atasnya.
"Tunggu, kita masih di luar—"
"Diam. Kali ini aku yang kendali."
Tangannya cepat membuka celana Sugi dan membebaskan batang keras yang sudah tegang sejak pagi. Ia menjilat bibir, lalu langsung menunduk dan menyelubungi ujungnya dengan bibir hangatnya, membuat Sugi terangkat setengah duduk karena terkejut.
Lira menggoyangkan kepalanya naik turun, perlahan, dengan suara licin dan menjilat seluruh batang hingga pangkal, sementara matanya menatap ke atas… nakal dan penuh balas dendam.
Setiap kali dia mengangkat kepalanya, air liurnya membasahi dan melapisi batang itu seperti madu, menetes ke pangkal.
"Lira, kalau kau terus... ahhh—"
Sebelum Sugi sempat menyelesaikan kalimatnya, Lira naik ke atas dan menyelipkan batangnya ke dalam dirinya sendiri, perlahan... tapi dalam. Tubuhnya menggeliat, napasnya tercekat.
"Aaahh... kau masih... terlalu besar… bahkan setelah dua malam…"
Lira mulai menggoyangkan pinggulnya, naik-turun, mengencangkan bagian dalamnya agar menggigit batang keras Sugi seperti daging yang lapar. Tangannya menekan dada Sugi, keringat mulai bercucuran dari pelipisnya.
Setiap gerakan menghasilkan bunyi basah yang tak tertahan.
PLAKK... PLAK... PLAK...
Lira menggigit bibirnya, tubuhnya menegang, dan dia mulai mempercepat gerakan. Pinggulnya berputar, menggiling batang Sugi seperti ingin menelan habis sampai akar. Tangan Sugi kini mencengkeram bokongnya, menekan, menahan.
"Aku akan... ah... kelu—"
"Di dalam. Aku mau rasain semuanya."
Sugi meledak, panas dan deras, di dalam tubuh Lira yang menggeliat hebat, menjerit tanpa suara sambil mencakar dadanya dan membenamkan wajahnya ke lehernya.
Tubuh mereka gemetar bersamaan.
---
Beberapa menit kemudian, mereka terbaring di rumput, basah oleh keringat, cairan, dan peluh bercampur cinta.
Lira mengelus dada Sugi, napasnya masih tak teratur. "Kalau kau memang mau... sentuh wanita lain... aku takkan berhenti. Tapi aku akan selalu jadi yang pertama mengurasmu."
Sugi hanya mencium dahinya dan membiarkannya tidur dalam pelukannya.
---
Di pusat kota Elvaria, aula utama tempat para elf berkumpul dikelilingi taman-taman suci. Sugi, dengan pakaian formal pinjaman dari penginapan, ikut hadir di acara resepsi terbuka.
Dan di sana... ia melihat Seraphina lagi.
Berdiri di bawah pohon bercahaya, sendirian, tatapannya kosong.
Tapi kali ini, tatapannya menangkap tatapan Sugi.
Bersentuhan. Diam. Tak berkedip.
Tak ada senyum. Tak ada sapaan.
Tapi sesuatu menggetar... sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika, hanya dengan nafas dan hasrat yang terkunci.
---
> [Sistem: Deteksi Kontak Emosional Pertama – Seraphina]
[Status: Ketertarikan bawah sadar tercipta]
[Saran: Lakukan pendekatan dengan bahasa emosional, bukan erotik langsung]
[Waktu tersisa: 2 hari, 7 jam, 44 menit]
Sugi menelan ludah.
"Perempuan itu... seperti tebing. Tapi aku suka tantangan."