Chapter 9: Chapter 1641. Bahkan Binatang Pun Tahu Rasa Terima Kasih (6)
Gemetarnya tidak berhenti. Bisa jadi karena kegembiraan, atau mungkin karena rasa bersalah.
Tangannya telah terlumuri oleh darah yang kotor.
Namun, Ho Gamyeong tidak merasa sejengkal pun penyesalan. Menyimpan emosi seperti penyesalan terasa terlalu mewah untuknya. Bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri adalah dosa yang besar.
Dengan napas yang terengah-engah, Ho Gamyeong menatap potongan daging yang dulunya disebut Wangsa.
Tubuh yang menerima kebencian seperti racun dari Ho Gamyeong, sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata seberapa mengerikan keadaannya.
Sensasi kesemutan di ujung jari, napas yang terengah-engah, dan bau darah yang tajam.
Rasa balas dendam tidak melegakan seperti yang dia bayangkan, atau mengerikan seperti yang dia takutkan. Hanya ada sedikit kekecewaan, kepuasan kecil, dan kesedihan yang berbaur dalam keheningan, seolah pekerjaan rumah yang panjang telah selesai.
Bagaimanapun, balas dendamnya sudah berakhir. Entah ini yang dia inginkan atau tidak, apa yang sudah dilakukan tidak bisa dibatalkan.
Yang tersisa hanyalah....
Tatapan Ho Gamyeong beralih ke samping. Jang Ilso berdiri di sana, diam-diam mengamati seluruh prosesnya.
Dia memandang Ho Gamyeong, matanya seperti bulan sabit. Itu adalah tatapan yang maknanya tidak dapat ditebak.
"Bagaimana rasanya?" –tanya Jang Ilso
Suara Jang Ilso mengandung getaran yang aneh.
"Rasa telah mencapai balas dendam yang sangat kau inginkan itu." –lanjut Jang Ilso
Ho Gamyeong tanpa sadar melirik tangannya yang berlumuran darah. Rasa asing yang diberikan tangan merahnya sudah menjadi tumpul. Menyerap semua itu dalam pikirannya, Ho Gamyeong menjawab dengan tenang.
"Kupikir kau sendiri sudah mengerti. Jika itu kau." –jawab Ho Gamyeong
"Itu bukan jawaban yang menyenangkan." –kecewa Jang Ilso
Jang Il-so mencibir.
"Aku tidak tahu apakah kau mempercayainya, tapi aku tidak pernah membalas dendam."
".…Benarkah?"
"Karena balas dendam hanya untuk mereka yang kehilangan sesuatu." –jelas Jang Ilso
Anehnya, itu adalah jawaban yang mudah dimengerti.
Jang Ilso memang benar. Dia yang tidak akan kehilangan apa-apa.... Tidak, mereka yang tidak merasakan nilai dari apa yang telah hilang dari mereka mungkin tidak akan pernah bisa memahami gagasan balas dendam. (intinya si Ilso itu ga pernah nganggep apa pun berharga)
Pemahaman itu membuat Ho Gamyeong menyadari fakta lain.
'Aku juga.....'
Mungkin sekarang dia telah menjadi seseorang yang tidak dapat lagi melakukan balas dendam. Karena dia tidak akan kehilangan apa-apa lagi.
"Bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?"
Jang Ilso mengerutkan alisnya tanpa berkata apa-apa. Menganggap keheningan sebagai persetujuan, Ho Gamyeong membuka mulutnya.
"Mengapa kau membantuku?"
Tidak ada jawaban yang datang. Lalu Ho Gamyeong mengubah pertanyaannya.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku menerima tawaran Wangsa?"
"Hmm?"
Pertanyaan ini sepertinya menarik minat Jang Ilso.
Meskipun dia menyembunyikannya di balik ekspresi kasar, jika diperhatikan lebih dekat, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu yang aneh.
"Aku bilang itu akan lebih mudah, tapi kau tidak perlu menjadi bodoh untuk mengetahui bahwa aku tidak bersungguh-sungguh. Kekayaan, kekuasaan, kenyamanan.... Aku sudah tau apa pun yang ditawarkan Wangsa tidak akan membuatmu tertarik."
Ho Gamyeong menatap langsung ke arah Jang Ilso.
"Lalu apa kau berencana mengambil leherku? Sebagai kompensasi karena mengecewakanmu?"
"….Leher?"
Untuk sesaat, ekspresi Jang Ilso berubah. Atau lebih tepatnya, dia tampak bingung. Dengan mata yang membulat, dia melihat Ho Gamyeong dengan ekspresi yang konyol.
"Hahahahahah! Leher? Lehermu?"
Jang Ilso menggoyangkan tubuhnya dan tertawa terbahak-bahak, menatap Ho Gamyeong dengan tatapan yang penuh cemoohan dan rasa jijik di matanya.
"Kukira kepalamu berfungsi dengan baik…. Tampaknya tidak juga. Dasar bocah bodoh. Apa nilai yang ada di leher murahanmu?"
Mulut Ho Gamyeong terkatup.
"Masih merasa seperti bangsawan yang mulia yang berjalan-jalan di akademi kekaisaran?"
Menghadapi ejekan yang terang-terangan, Ho Gamyeong secara refleks menatap tangannya.
Dia tersenyum pahit.
Tidak ada yang salah dengan kata-kata Jang Ilso. Dia bukan lagi seorang sarjana atau pejabat pemerintah.
Dia hanyalah seorang pembunuh.
Dari sudut pandang negara, dia hanyalah sampah yang harus ditangkap dan dipenggal lehernya. Dia telah menjadi sesosok yang paling dia benci dan tolak itu.
Lalu, apa nilai dari leher seperti itu bagi Jang Ilso?
"Itu adalah pertanyaan yang bodoh." –Ho Gamyeong mengakui
Ho Gamyeong mengangguk pelan dan mengakui.
Dia menyadarinya lagi. Alasannya tidak penting. Yang penting dia berhutang pada Jang Ilso, dan sekarang dia harus membayarnya kembali.
"Pokoknya sekarang giliranmu untuk menerima imbalannya."
Ho Gamyeong menarik napas dalam-dalam dan menghadap Jang Ilso.
Tidak masalah. Tidak peduli seberapa sulit imbalannya. Kini Ho Gamyeong telah menjadi orang yang tidak akan kehilangan apa-apa.
"Apa pun yang kau inginkan dariku..."
Ho Gamyeong mengucapkan kata-kata itu dengan wajah dingin seolah dia memakai zirah besi.
"Aku akan memberikan segalanya."
Itu adalah suara yang tegas tanpa sedikit pun keraguan. Mata Jang Ilso melengkung sepenuhnya.
"….Itu hal terbaik yang kudengar setelah sekian lama."
Dia adalah sosok yang aneh. Itulah yang dipikirkan Ho Gamyeong.
Saat pertama kali melihatnya, dia terlihat liar dengan kekasaran yang tak tertandingi, namun Jang Ilso yang dia lihat sekarang berbeda dengan sebelumnya.
Cara bicaranya yang lambat itu membuat Ho Gamyeong kewalahan tanpa banyak intimidasi. Ini adalah hal yang telah dilihat Ho Gamyeong dari orang berkuasa dan mulia di istana kekaisaran.
Tiba-tiba, terlintas sesuatu di benaknya.
Apakah orang ini benar-benar lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menganggap dirinya hebat dan percaya bahwa dia akan selalu menjadi hebat?
Bukankah pria di hadapannya saat inilah yang benar-benar memiliki kualifikasi untuk berdiri di atas mereka semua?
Ini adalah ironi. Faktanya, orang yang paling dia kagumi berada di tempat paling kotor dan paling tercela di dunia, tempat yang bahkan dia enggan untuk melihatnya.
Oleh karena itu, Ho Gamyeong penasaran dan tidak bisa tidak bertanya.
"Apa yang kau mau dariku?"
Apa yang diinginkan pria ini darinya? Dari sudut pandang Jang Ilso, seperti apa dirinya?
Jawabannya berbeda dari yang Ho Gamyeong harapkan.
"Apa yang kuinginkan darimu…."
Mulut Jang Ilso bergerak.
"Tidak ada sesuatu yang seperti itu."
Ho Gamyeong terdiam beberapa saat, menatap kosong ke arah Jang Ilso.
"Tidak mungkin sarjana bodoh sepertimu, yang tidak tahu apa itu dunia atau manusia, bisa melakukan apa pun. Kau bahkan tidak layak menjadi pupuk."
Wajah Ho Gamyeong tampak sedikit bergetar.
"Jadi…."
"Apa yang aku inginkan dan apa yang aku dapatkan sebagai imbalannya itu berbeda. Aku bilang kau harus membayar mahal, tapi aku tidak bilang bahwa aku menginginkan apa pun darimu"
Sekilas mungkin sulit untuk memahaminya, namun Ho Gamyeong dengan cepat memahami perbedaan halus tersebut.
"Jadi apa imbalannya?"
Saat ditanya Ho Gamyeong, Jang Ilso menatapnya lalu menoleh. Sebuah rumah yang terbakar muncul di matanya. Mata cerahnya diwarnai oleh cahaya yang menyala dan tampak merah darah.
"Jadilah anjingku."
"….."
"Aku sudah muak sekarang. Pada gang-gang yang kotor, bau, dan semua pekerjaan yang melelahkan itu."
Ho Gamyeong menelan ludah kering tanpa menyadarinya.
Jang Ilso setuju untuk membunuh Wangsa.
Bahkan jika kekuatan keluarga kekaisaran tidak sepenuhnya menjangkau setiap sudut negeri, dia akan terus dikejar untuk sementara waktu.
Dan itu berarti Jang Ilso sekarang kehilangan semua kekuasaan yang dimilikinya. Namun, Jang Ilso tidak mengatakan sepatah kata pun mengenai hal itu.
'…. Seseorang yang tidak akan kehilangan apa pun.'
Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak punya apa-apa?
"Aku ingin sesuatu yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang membakar sebuah rumah besar. Jika ingin membakarnya, kau harus membakar sesuatu yang lebih besar."
Jang Ilso, yang sedang menatap rumah yang terbakar dan runtuh, dengan cepat kehilangan minat pada pemandangan itu dan menatap Ho Gamyeong.
Entah itu kesalahan persepsi atau tidak, Ho Gamyeong merasa kilau mata Jang Ilso yang menantang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.
"Tapi untuk melakukan itu, aku tidak bisa hanya bersama orang idiot. Setidaknya aku membutuhkan seseorang yang punya otak."
Mata Jang Ilso berkilau tajam.
"Bergulinglah di lumpur kotor bersamaku. Jalani neraka hidup-hidup. Dan doronglah aku ke posisi lebih tinggi. Itu adalah harga mahal yang harus kau bayar."
"….."
"Aku tak menerima penolakan. Aku sudah membeli nyawamu."
Ho Gamyeong tersentak tak percaya.
Tidak ada yang diinginkannya. Ya, karena dalam mata orang itu, Ho Gamyeong hanyalah seorang bocah yang tidak tahu apa-apa tentang dunia.
Tetapi dengan darah di tangannya, dia telah memperoleh hak. Jika dia berjuang melalui kekacauan yang diinginkan oleh Jang Ilso, suatu hari nanti Ho Gamyeong akan menjadi seseorang yang penting bagi Jang Ilso.
Itulah arti dari tidak ada yang diinginkan Jang Ilso, tetapi ada harga yang harus dibayar Ho Gamyeong.
"Apa kau mengerti?"
Suaranya keras dan mendidih.
Tetapi Ho Gamyeong merasakan sedikit kegugupan dalam suara itu. Ukurannya sangat kecil sehingga mungkin hanya Ho Gamyeong yang bisa menyadarinya.
Bagaimanapun, dia menemukan Ho Gamyeong. Bertentangan dengan apa yang terlihat di luar, pria ini mungkin sebenarnya sangat menginginkan Ho Gamyeong.
Setelah hening beberapa saat sambil menatap Jang Ilso, Ho Gamyeong berbicara.
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Bertahan hidup."
Jang Ilso menjawab tanpa ragu. Seolah-olah itu adalah jawaban yang sudah disiapkan.
"Dan bersikaplah berkepala dingin. Dimana pun, kapan pun, di kondisi apa pun."
Ho Gamyeong mengangguk pelan.
"….. Kalau begitu aku juga punya satu syarat."
Dalam sekejap, mata Jang Ilso menjadi ganas seperti binatang yang sedang marah.
"Syarat? Apakah kau berpikir kau punya hak untuk menetapkan syarat?"
Kekuatan mematikan tercurah seolah-olah akan mencengkeram lehernya dan mencabutnya kapan saja.
Bahkan dalam menghadapi keganasan yang membuat tubuhnya merinding, Ho Gamyeong menatap lurus ke arahnya dan berbicara.
"Bersikaplah santai."
Gerakan Jang Ilso terhenti seolah terputus. Energi yang mendidih dan kehidupan yang menderu-deru telah lenyap seperti ilusi.
Jang Ilso menyipitkan matanya dan menatap Ho Gamyeong yang lanjut berbicara dengan tenang.
"Orang-orang tidak takut pada orang yang memperlihatkan giginya, karena hanya itu yang mereka punya. Tapi mereka takut pada orang yang tertawa di saat krisis. Mereka mengira dia mungkin masih menyembunyikan sesuatu."
"….."
"Jika kau benar-benar ingin menjadi yang teratas, jika kau ingin mendapatkan lebih banyak, bersikap santai lah dulu. Lebih banyak tersenyum, lebih banyak menatap merendahkan, lebih sombong. Bukan sebagai seseorang yang ingin memilikinya, tapi sebagai seseorang yang sudah memilikinya."
Ho Gamyeong berlutut kea rah Jang Ilso
"Maka kau akan selalu mendapatkan apa yang kau inginkan."
Mata Ho Gamyeong bersinar biru cerah.
"Bertahan hidup dan berkepala dingin. Akan selalu ku ingat."
Ho Gamyeong menunduk. Jang Ilso, yang sedang menatapnya berlutut di depannya, mengalihkan pandangannya. Rumah yang terbakar, langit hitam, dan seorang pria berlutut di depannya.
"Ha..…"
Bibirnya memerah karena kegembiraan.
"Haha….. hahaha. Hahahahahahahah! Ahahahahahahahahahahah!"
Tawa keras terdengar.
Berbeda dari sebelumnya. Itu adalah tawa yang sangat berlebihan dan tanpa beban, seolah-olah itu benar-benar mengejek dunia.
Tawa itu mereda setelah beberapa saat. Jang Ilso, yang masih terkikik beberapa saat, mengulanginya.
"Bukan sebagai orang yang ingin memilikinya, tapi sebagai orang yang sudah memilikinya…"
Mata Jang Ilso menjadi tenang. Alih-alih keganasan dan kebrutalan yang dia tunjukkan sebelumnya, dia malah dipenuhi dengan ketenangan, dan tatapannya dipenuhi dengan senyuman lembut.
"Ingatlah hal itu. Sampai saat kematianmu."
Ho Gamyeong juga tersenyum tipis.
Ini adalah harga yang harus dia bayar dan kesepakatan yang harus dijaganya satu sama lain.
Tapi mungkin semua itu tidak ada artinya.
Ho Gamyeong memandang dunia yang terbakar dan pria yang berdiri sendirian di depannya seolah terpesona. Itu sangat misterius dan berbahaya sehingga ia tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Dia perlahan berdiri.
Masa lalunya, kehidupannya, semua yang dia tahu tersapu oleh nyala api. Segera berubah menjadi abu dan menghilang.
Tapi itu tidak penting lagi.
"Persiapkan dirimu. Ini akan sangat buruk." –ucap Jang Ilso
"Kurasa ini takkan mudah. Namun…"
"Hmm?"
"Pasti akan menyenangkan." –jawab Ho Gamyeong
Jang Ilso memandang Ho Gamyeong dalam diam. Ho Gamyeong juga memandangnya seperti itu. Di malam yang sangat gelap, bara api tertiup angin dan mendarat di atas dua orang tersebut.
Mulut Jang Ilso terbuka kembali.
"Ayo pergi, Gamyeong-ah."
"Ya, danju-nim." (kepala sekte/keluarga)
Satu langkah yang nyaris tidak diambil. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang akan berlanjut untuk waktu yang lama.