Chapter 28: Chapter 1659. Aku suka orang bodoh seperti itu. (4)
1659. I like stupid people like that. (4)
"Istirahat!"
"Huuk! Huuk!"
Begitu kata "istirahat" diucapkan, para anggota aliansi yang berlari itu berhenti di tempatnya, terengah-engah. Tapi mereka tidak bisa bersantai. Masing-masing mata mereka menunjukkan ekspresi hati-hati daripada rasa lega karena mereka sekarang bisa beristirahat.
Jo Geol membuka matanya lebar-lebar dan berkata pada Yoon Jong.
"Eh? Setiap orang lebih energik dari yang kita kira, bukan? Aku pikir semua orang akan pingsan begitu berhenti."
"Karena tidak semua orang seperti Hwasan."
"….. Bukankah itu merupakan penghinaan terhadap Hwasan?"
"Itu benar. Jika kau menutupi langit dengan telapak tangan, apakah langit akan terhalang? Ada mata dimana-mana, jadi tidak mudah untuk menunjukkan kelemahan."
"Hmm."
Jo Geol menggaruk pipinya.
Setelah mendengar itu, terlihat jelas bahwa Hwasan adalah sekte tanpa tanda kepemilikan otak. Jika para bajingan Hwasan berkumpul di sini, mereka akan pingsan di tempat, mengeluh dengan suara keras, terlepas dari apakah sekte lain sedang menonton.
"Ditambah lagi, akan ada perasaan krisis karena kita tidak pernah tahu kapan Sapaeryeon akan menyerang."
"Kita bisa mengetahuinya dari informasi yang didapatkan sekte pengemis."
"Apakah kau benar-benar percaya itu?"
"….. Jika Hong-ahjussi mendengarnya, dia akan menggaruk tanah karena kesal."
"Itulah yang disebut salahnya sendiri." (kalau dijadiin ke inggris, frasanya gini 'bringing something upon oneself')
"Itu juga benar."
Jika Hong Dae-kwang mendengarnya, dia akan berteriak, 'Apa salahku!'... Apa yang bisa dilakukan? Salahnya sendiri mewarisi posisi ketua serikat pengemis.
"Tapi kenapa kita istirahat sekarang?"
"….. Karena tidak semua orang seperti Hwasan."
Jawaban yang sama, namun kali inidengan arti yang berbeda. Jo Geol melihat sekilas ke sekeliling. Meski berpura-pura tenang, tak sedikit orang yang terlihat kesulitan bernapas.
'Benarkah?'
Jo Geol sedikit merendahkan suaranya.
"Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, tapi….."
"Itu benar. Itu bukan karena perasaanmu saja."
Yoon Jong mengiyakan bahkan sebelum mendengar semuanya. Jo Geol menutup matanya.
'Benar-benar…...'
Murid Hwasan bahkan tidak akan bergeming pada level ini. Itu berarti stamina murid Hwasan lebih unggul dari murid sekte bergengsi yang bercampur di sini.
Entah kenapa, ia tidak percaya….. Ia merasa aneh.
Tentu saja, stamina atau daya tahan bukanlah segalanya bagi seorang seniman bela diri. Tapi bagaimanapun juga, bukankah ada titik dimana sekte Hwasan jelas lebih unggul dari sekte bergengsi lainnya?
'Sejak kapan sudah sampai ke titik ini…?'
Jo Geol bukanlah orang yang terlalu sentimental, tapi dia ingat dengan jelas keadaan Hwasan saat hampir runtuh dulu. Ia merasakan perasaan istimewa.
Jo Geol bergumam, merasa agak malu.
"Mungkin hanya sekarang terlihat seperti itu?"
"Buddha Amitabha. Itu tidak benar, siju."
Saat itu, Hye Yeon mendatanginya sambil menggelengkan kepala.
"Itu tidak terlihat terlalu jelas karena kita selalu bersama, tapi stamina anggota sekte Hwasan tidak normal dan melampaui akal sehat. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dikembangkan hanya dengan mempelajari seni bela diri. Mungkin itu karena…"
"Apakah menurut mu ini adalah akibat dari pelecehan yang parah dan berkepanjangan?"
"….. Bisa dibilang begitu… Ya."
Jo Geol merasa sedikit putus asa.
Jadi, sebagai imbalan atas Cheong Myeong yang memperlakukan orang seperti iblis neraka, murid-murid Hwasan memperoleh stamina yang dapat membuat mereka lebih unggul dari siapa pun di dunia.
Haruskah ia tertawa atau menangis mendengarnya?
"Ini membuatku gelisah."
"Apa maksudmu?"
"Itu….."
Jo Geol yang menerima tatapan Yoon Jong, menggaruk kepalanya sedikit.
"Memang sih, merupakan suatu kebahagiaan bahwa Hwasan lebih unggul dari sekte lain….."
"Tapi?"
"….. Tidak."
Jo Geol yang hendak mengatakan sesuatu, menggelengkan kepalanya. Yoon Jong yang melihat itu tertawa.
Sejujurnya, awalnya dia mengira mereka bisa berharap orang-orang yang akan bertarung bersama mereka mulai sekarang lebih bisa diandalkan. Namun, malah lebih banyak tekanan untuk memimpin dan bertarung bersama orang-orang yang secara fisik lemah.
"Stamina bukanlah segalanya tentang seni bela diri."
"Ya. Aku tahu."
"Dan….."
Yoon Jong sedikit mengangkat kepalanya dan menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti.
"Hanya karena seseorang berada di gunung berapi bukan berarti mereka semua memiliki daya tahan yang baik."
"Ya?"
"….. Dia bahkan sangat bodoh."
Matanya beralih ke satu sisi. Menuju semak-semak subur agak jauh dari tempat mereka berada.
Keringat yang terbentuk di ujung dagunya menetes.
"….. Huft."
Baek Cheon menarik napas dalam-dalam dan menyeka keringat yang mengucur seperti air terjun dengan lengan bajunya.
'Brengsek.'
Meskipun keringat dapat ditekan melalui energi, hal ini ada batasnya. Tidak, sejujurnya, itu pun menjadi sulit sekarang.
Baek Cheon yang diam-diam menyeka keringatnya, perlahan mengangkat kepalanya. Saat ia hendak mengambil nafas panjang lagi, ia mendengar suara lembut.
"Ini."
Saat ia melihat ke arah asal suara itu, ia melihat Yoo Iseol berdiri di sampingnya tanpa tanda keberadaan apa pun.
"Ambil."
Baek Cheon diam-diam melihat apa yang dia ulurkan. Itu adalah kain katun putih bersih. Itu adalah sesuatu yang dia tidak kepikiran untuk dibawa.
"….. Akan menghabiskan banyak Qi juga untuk mengeringkan pakaian."
Baek Cheon yang terdiam beberapa saat menerima kain yang diberikan Yoo Iseol. Ia menyeka keringat yang membasahi wajah putinya.
Yoo Iseol yang menatapnya dengan acuh tak acuh, perlahan membuka mulutnya.
"Kelihatannya berat bagimu."
"….."
"Itu akan menjadi dua kali lebih cepat. Jika saja hanya Hwasan yang bergerak."
Baek Cheon mengangguk setuju. Kemudian, saat ia hendak mengembalikan kain yang telah ia gunakan untuk menyeka keringat kepada Yoo Iseol, ia berhenti dan segera memasukkannya ke dalam lengan bajunya.
Dia berbicara kepada Yoo Iseol dengan wajah tenang.
"Saat itu terjadi, pasti ada cara lain."
"Bagaimana?"
"Apakah kau melakukan ini karena kau pikir aku mungkin gagal, Samae?"
Yoo Iseol hanya menatap Baek Cheon dengan ekspresi yang sulit ditebak apa yang dia pikirkan.
Dia tahu Baekcheon tidak akan ketinggalan. Meskipun itu adalah jalur yang hanya diambil oleh sekte Hwasan. Bahkan jika paru-parunya terkoyak, ia akan berlari sampai akhir seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Karena Baek Cheon adalah orang seperti itu. Tapi justru itulah masalahnya.
Yoo Iseol bertanya.
"Mengapa?"
"….."
"Kau hanya perlu mencari alasan yang cocok dan istirahat. Tempat Sahyung bukanlah di garis depan Hwasan, jadi tidak ada alasan untuk melakukannya secara berlebihan."
"Alasan yang cocok?"
"Jika kau tidak punya alasan, aku akan membuatkannya untukmu. Sekarang."
Tatapan Baek Cheon sedikit menunduk. Yoo Iseol sedang memegang pedang plum di pinggangnya. Baek Cheon tertawa terbahak-bahak.
"Apakah kau akan melukaiku?"
"...."
"Tidak apa-apa, Samae."
"..."
"Aku tidak akan mengeluh hanya karena ini, jadi terima kasih atas perhatianmu. Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkanku."
Yoo Iseol mengerucutkan bibirnya seolah hendak mengatakan sesuatu, lalu berhenti. Dan hanya setelah beberapa saat dia sedikit mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah Baek Cheon.
"Saat ini, kita bukan sedang memimpin Hwasan."
"….."
"Jadi tidak ada. Seseorang yang akan melindungi Sahyung ketika dalam bahaya."
Baek Cheon terdiam dengan ekspresi pahit di wajahnya. Ia dapat melihat betapa khawatirnya Yoo Iseol, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, menjadi terlalu banyak bicara. Tidak, meskipun ia tidak mengatakan apa pun, itu akan tetap dirasakan orang lain.
Yoo Iseol bertanya dengan kesal.
"Masih?"
Jawaban Baek Cheon tidak berubah.
"Ya."
"Mengapa? Kenapa kau harus….."
"Samae. Apakah Samae adalah seseorang yang menggunakan pedang hanya untuk Hwasan?"
Yu Iseol tutup mulut. Baek Cheon menatap matanya lama sekali dan mengangguk.
"Oke. Mungkin begitu. Tetapi….."
Pandangan Baek Cheon melampaui dirinya, menatap langit yang jauh.
"Aku sedikit….. Ya, sepertinya aku sedikit berbeda dari Samae. Tapi sulit untuk dijelaskan."
Setelah menggumamkan kata-kata seperti berbicara kepada dirinya sendiri, Baek Cheon tersenyum. Kali ini, senyumnya penuh dengan candaan.
"Tetap saja, sepertinya aku tidak menjalani kehidupan yang menyedihkan. Ada juga Samae yang mengkhawatirkanku seperti ini."
"Ini sia-sia. Sudah cukup."
"Apakah begitu?"
Baek Cheon tersenyum dan menepuk bahu Yoo Iseol. Dan kemudian ia melewatinya dan menuju ke jalan utama.
"Sepertinya kita akan terlambat, jadi ayo pergi."
"Sahyung."
"Jika kau begitu khawatir, kau bisa membantuku."
Baek Cheon berdiri di sana tanpa berbalik dan berbicara.
"Aku. Aku selalu berpikir bahwa aku harus menjadi orang yang luar biasa, memimpin serta membantu orang lain. Karena aku pikir aku akan lebih unggul dari siapa pun di dunia dan bisa menjadi orang hebat."
Yoo Iseol menatap punggung Baek Cheon.
Baek Cheon tentu saja memiliki sisi itu di masa lalu. Tidak, Baek Cheon mungkin tidak banyak berubah hingga saat ini. Ia baru menyadari bahwa dunia ini luas, dan ia mulai memprioritaskan hal-hal lain di atas dirinya sendiri.
"Apakah kau ingat apa yang aku katakan kepada para Sajae dan Sajil saat itu?"
"….. Tidak."
Baek Cheon kembali menatap Yoo Iseol. Ada senyuman kecil di sudut mulutnya.
"Aku mendukungmu, jadi jangan takut dan melawan."
"..."
"Satu orang mungkin lemah, tapi sekte Hwasan tidak lemah. Kita bisa saling menutupi kekurangan satu sama lain, dan murid Hwasan mana pun bisa berdiri di garis depan Hwasan."
Yoo Iseol dengan lembut menggigit bibir bawahnya. Baek Cheon tersenyum sedikit lebih cerah.
"Aku yang telah mengatakan itu, tidak bisa mundur hanya karena aku sedikit lemah. Kalau begitu aku akhirnya akan menjadi pria yang hanya pandai bicara. Jadi….. Jadi, um…."
Baek Cheon menggaruk pangkal hidungnya.
"Aku mungkin tidak bisa menyelesaikan ceritanya dengan baik, tapi begitulah adanya. Samae, menurutku seseorang tidak harus kuat untuk bertarung. Bukan karena kuat maka seseorang bertarung, tapi orang yang tetap bertarung itu yang kuat."
"….."
"Mungkin sulit bagimu untuk memahaminya jika aku mengatakannya seperti ini, tapi bagaimanapun juga, jangan terlalu khawatir."
Baek Cheon hendak berbalik dan berjalan lagi, tapi suara Yoo Iseol dengan lembut terdengar di telinganya.
"….. pandai bicara."
"Hah?"
"Kau hanya pandai bicara, bahkan sampai sekarang."
Baek Cheon tidak menoleh ke belakang.
Yoo Iseol yang sedang menatapnya saat dia berjalan untuk bergabung dengan pasukan utama, meraih pedangnya.
* * *
"Apakah kalian benar-benar akan melakukan ini?"
Raungan yang menyayat tenggorokan keluar dari mulut Heo Sanja. Murid-murid di depannya bahkan tidak menanggapi amarahnya.
"Hei, para bajingan bodoh ini…..!"
Heo Sanja mengusap wajahnya yang memerah dengan tangan gemetar seolah hendak meledak.
Jika mereka hanya sedikit, ia akan mencoba menekan mereka dengan kekerasan, tapi bukan itu masalahnya. Ada terlalu banyak murid yang keras kepala di depannya.
Selain itu, sejujurnya, meskipun ia menundukkannya dengan paksa, itu hanya akan terjadi dalam waktu singkat. Bagaimana ia bisa membawa mereka sampai ke Shaolin?
"Ini Wudang! Apakah kalian benar-benar berencana untuk mengakhiri sejarah Wudang dengan tangan kalian sendiri?"
Heo Dojin berkata itu tidak ada gunanya, tapi Heo Sanja tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kita tidak bisa membiarkan mereka mati sia-sia di sini, bukan?
"Heo Gong! Brengsekk!"
Saat hatinya yang sungguh putus asa, kemarahan Heo Sanja mau tidak mau diarahkan pada Heo Gong yang tampaknya menjadi pusat murid-muridnya.
"Bagaimana bisa seorang lelaki yang merupakan tetua suatu sekte begitu bodoh berbicara tentang pasukan! Balas dendam seorang pria mulia (gunja) itu....."
"Itu belum terlambat bahkan setelah sepuluh tahun."
"..."
"Apakah itu benar?"
Sebelum Heo Sanja sempat menjawab, Heo Gong melanjutkan berbicara dengan ekspresi tegas.
"Tapi kami bukan pria mulia (gunja), Ketua sekte. Kami ini ahli bela diri (mu-in). Belum terlambat untuk membalas dendam bahkan setelah sepuluh tahun, tetapi kehendak seorang pendekar yang hancur tidak dapat dibangun kembali bahkan setelah sepuluh tahun berlalu."
"Si brengsek ini….."
"Lebih baik menjadi berani daripada menjadi bijaksana. Itulah yang kami pelajari dari Wudang."
"Apakah itu keberanian, hah…..!"
Heo Sanja baru saja hendak mengamuk.
"Ketua sekte! Ke, Ketua sekteeeee!"
Beberapa murid Wudang berlari dengan wajah pucat. Melihat mereka yang begitu terburu-buru, Heo Sanja bisa menebak apa yang akan mereka katakan.
"Itu Sapaeryeon! Mereka muncul!"
Keputusasaan yang membatu terlihat di mata Heo Sanja.
"Dan….. Ku pikir sudah terlambat untuk melarikan diri sekarang."
Pada saat itu, Heo Gong berbalik dan memandang sekeliling ke arah para murid. Semua orang berdiri dengan mata yang sama seperti Heo Gong.
"Jika kau takut mati, mundurlah. Tidak aka nada yang menyalahkanmu."
Terjadi keheningan.
Tidak ada satu orang pun yang bergerak. Tidak ada yang mundur.
Semangat adalah sesuatu yang diwariskan, namun terkadang mekar di hati seseorang.
Wudang adalah pusat ajaran Taoisme yang memimpin Kangho. Para murid memahami beratnya pedang yang mereka bawa bahkan di tengah kitab suci Tao kuno dan peraturan yang sudah pudar.
"Yang tidak takut mati, ikuti aku."
Heo Gong perlahan mencabut pedangnya.
"Hari ini kita akan selamanya mengukir dua kata 'Wudang(무당)' di benak mereka."
Semua menghunus pedang mereka tanpa berkata apa-apa, memantulkan sinar matahari yang terbit di langit. Seperti semangat yang pertama kali muncul ketika kata 'Wudang' terlahir di dunia.