Chapter 14: Chapter 1646. Jadi, Apa Kau Bahagia? (5)
"Duduk."
Bahkan setelah mendengar perkataan Cheong Mun, Cheong Myeong berdiri tegak dan tidak bergerak. Cheong Mun meliriknya. Cara dia memandang ke arah ini dengan tangan disilangkan membuatnya tampak penuh dengan rasa ketidakpuasan.
Cheong Mun mendesah diam-diam dan bertanya.
"Mengapa kau melakukan itu?"
"Ngapain sahyung berbicara dengan orang-orang seperti itu? Kau jelas tahu bahwa para bajingan itu bukanlah manusia."
Cheong Myeong mengertakkan giginya sedikit. Akhirnya, desahan terang-terangan keluar dari mulut Cheong Mun.
"Berhati-hatilah terhadap apa yang kau katakan. Burung mendengarkan apa yang kau katakan di malam hari, dan apa yang kamu katakan di siang hari..…"
"Biar saja mereka dengar."
"….."
"Tidak, menurutku mereka tidak bisa mendengarku dengan baik seperti ini. Kenapa aku tidak mengatakannya sedikit lebih keras? Kau ingin semua orang di dunia mendengar apa yang kukatakan?"
Cheong Mun mengerang seolah sedang sakit kepala.
"Aku mengerti. Sekarang, duduk."
"Jangmun-sahyung!" (jangmun itu artinya ketua sekte ya, ga enak kalau ditranslate sampingan dgn sahyung)
"Duduk."
Ketika Cheong Mun berbicara lagi, Cheong Myeong menggerutu tapi menarik kursi dan duduk. Namun, dia menarik kursi baru daripada yang tadi digunakan oleh para ketua sekte lainnya. Sepertinya dia bahkan tidak ingin menyentuh sedikitpun tempat bekas mereka duduk.
Cheong Mun diam-diam menatap Cheong Myeong yang terus menggerutu.
Untuk hidup dengan temperamen seperti itu bahkan setelah menjadi setua ini, bukankah itu suatu prestasi yang luar biasa? Biasanya, segala sesuatunya perlahan-lahan terkikis oleh angin dan gelombang dunia, tetapi…..
Tidak, tidak begitu. Jika dipikir-pikir, ia harus menganggap ini sebagai sesuatu yang terasah dan terbentuk. Jika itu adalah Cheong Myeong saat dia muda, dia akan bergegas masuk dengan sekuat tenaga dan menghantamkan pedang kayu ke kepala ketua sekte.
Pemandangan itu...
"Apa yang kau pikirkan?" –sela cheong myeong
"Keuhum!"
Cheong Mun yang wajahnya menjadi panas sesaat, berdehem dengan keras. Betapapun emosinya dia, itu adalah pemikiran yang tidak seharusnya dilakukan sebagai penganut Tao.
Cheong Mun yang telah memperbaiki raut wajahnya, memanggil Cheong Myeong dengan wajah tegas.
"Cheong Myeong-ah."
"….."
"Cheong Myeong-ah."
"…..Hn."
Cheong Myeong mengerutkan kening, seolah dia sudah bosan dengan omelan yang menyusulnya.
"Jangan terlalu kasar pada para ketua sekte."
"….."
"Tentu saja….. Sebenarnya aku tahu."
"Apa?"
"Fakta bahwa kau berpura-pura menjadi ancaman bagi mereka sebenarnya adalah pertimbangan untuk mempermudah pekerjaanku dengan menggunakan kehadiranmu sebagai umpan. Karena itu aku selalu…"
Cheong Mun berhenti bicara. Cheong Myeong yang mendengarkan, memasang ekspresi bertanya-tanya 'Aku? Aku ini? Apa aku melakukan hal seperti itu?', lalu membuang muka.
"…..berterima kasih...untuk itu."
"Eh….. Ya, terserah. Asal kau tahu."
"…..Baiklah."
Cheong Mun menggelengkan kepalanya.
Faktanya, tidak masalah apakah Cheong Myeong sengaja atau tidak. Yang penting kehadiran Cheong Myeong membuat Cheong Mun bisa bernapas sedikit.
Jika tidak ada Cheong Myeong di gunung hua, Cheong Mun akan menghadapi pertarungan yang tiga kali lebih sulit. Para ketua sekte setidaknya merasa perlu memperhatikan reaksi Cheong Myeong dan kadang-kadang memberikan Cheong Mun kesempatan untuk menyelesaikan sesuatu dengan damai.
Lalu Cheong Myeong bertanya dengan suara tegas.
"Jadi, apa rencanamu sekarang?"
"…..Hmm?"
"Kau bilang akan mendapat dukungan, tapi bukannya mendapat dukungan, kau malah mendapat ejekan. Sampai kapan kau akan terus main-main dengan omong kosong seperti ini?"
Cheong Mun tersenyum pahit.
"Itu adalah sesuatu yang perlu diterima. Mereka semua adalah ketua sekte yang mewakili Kangho. Orang-orang itu....."
"Itu dia. Jika hal ini terus berlanjut, bukankah gunung hua kita saja yang akan terus menderita? Luka di tubuh anak-anak bahkan belum mengering!"
Cheong Mun menutup mulutnya mendengar kata-kata itu.
"Ayo mundur."
"Cheong Myeong-ah."
"Bajingan sialan itu melakukan ini karena mereka tidak pernah bertarung melawan bajingan magyo dengan benar. Jika kau mengatakan bahwa kita perlu melakukan maintenance dan meninggalkan garis depan, mereka akan kencing di celana dan menangis meminta kita kembali lagi, bukan? Mengapa yangban yang lebih pintar dariku tidak bisa melakukan hal sederhana ini?" (yangban=orang terhormat)
Cheong Mun menghela nafas alih-alih menjawab. Suara Cheong Myeong semakin keras.
"Kita melakukan semua pekerjaan, jadi mengapa kita harus melihat para bajingan sialan itu pamer dengan sombongnya? Seharusnya tidak seperti ini..…"
"Cheong Myeong-ah."
Suara tegas keluar dari mulut Cheong Mun. Cheong Myeong yang mengeluh dengan wajah kesal, menutup mulutnya.
"Bukankah aku juga ingin melakukan hal yang sama? Bukankah seharusnya aku yang akan marah atas kelakuan mereka?"
"….."
"Seperti yang kau katakan, aku juga ingin memberi mereka contoh. Tapi siapa yang akan bertanggung jawab atas para Yangmin yang menderita karena mundurnya kita dari garis depan?" (yangmin=orang/rakyat biasa)
"Yangmin! Yangmin! Para Yangmin sialan itu!"
"Cheong Myeong-ah!"
"Brengsek! Mengapa itu menjadi tanggung jawab kita? Orang-orang itu lah yang seharusnya bertanggung jawab! Kita yang melakukan semua pertarungan dan orang-orang itu hanya menonton! Oh, apakah ini salah kita kalau mereka tidak bisa bertarung lebih baik?"
Perasaan sedih melintas di tatapan Cheong Mun saat dia memandang Cheong Myeong.
Cheong Myeong terengah-engah, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kemarahan yang muncul di dalam dirinya. Seolah-olah dia akan menghampiri para ketua sekte yang meninggalkan tempat duduk mereka kapan saja dan memarahi mereka.
Namun, Cheong Mun tahu bahwa reaksi Cheong Myeong bukan hanya karena dia tidak bisa mengendalikan amarahnya.
"Apakah kau kesal dan sakit hati karena murid-murid kita cedera dan terluka?" –tanya Cheong Mun
Cheong Myeong menggigit pelan bibirnya.
"Bukan begitu…"
Suara pahit keluar dari mulut Cheong Mun.
"Aku juga begitu, aku juga….. Dalam hal sakit hati, aku mungkin sama hancurnya denganmu."
"…..Orang seperti itu!"
"Tapi, Cheong Myeong. Jika kita mengabaikan tanggung jawab untuk melampiaskan amarah kita, akan ada orang yang kehilangan keluarganya, dan penderitaan mereka akan semakin besar."
Cheong Myeong tidak bisa berkata apa-apa dan hanya menatap Cheong Mun. Ia bisa melihat rasa duka di wajahnya, duka yang ia lihat sepanjang hidupnya. Cheong Myeong menghela nafas dengan wajah kesal.
"Apa kau paham?"
"Pemahaman sialan." –kutuk Cheong Myeong
Cheong Myeong terus bergumam dan mengumpat. Namun, dia tidak mencoba menentang Cheong Mun lebih jauh dari itu.
"Ini adalah tanggung jawab kita yang mempelajari seni bela diri."
"Apa cuma kita yang belajar seni bela diri? Apakah bajingan-bajingan itu seharusnya menjadi pegawai negeri yang kerjanya cuma membaca atau sesuatu?"
"Mereka juga harus segera melakukan bagian mereka."
"Kau pasti becanda."
Karena frustrasi, Cheong Myeong mengusap wajahnya dengan kasar dengan kedua tangannya.
"Tidak, Jangmun-sahyung! Apakah kau mempercayai bajingan itu? Apakah kau masih mempercayai para bajingan itu setelah apa yang mereka lakukan?"
"Ini disebut iman."
Cheong Mun mengulanginya seolah-olah sedang bergumam, lalu menghela napas dan kulitnya mengeras.
"Magyo itu kuat."
"Kau yang menghadapinya secara langsung, pasti yang paling tahu. Namun kenyataan yang lebih penting adalah Magyo bahkan belum mengerahkan seluruh kekuatannya ke medan perang."
Cheong Myeong mengangguk mendengar kata-kata itu.
"Jika Magyo benar-benar mulai bergerak maju, kita tidak akan bisa menghentikannya sendirian. Kita akan mampu menghadapinya hanya jika kekuatan seluruh Jungwon dikerahkan"
"…..Kau benar."
"Tetapi bagaimana jika kita saling bermusuhan sebelum itu? Kita akan dikalahkan Magyo bahkan sebelum kita bertarung dengan benar. Semuanya berakhir."
"….."
"Mereka tidak mungkin tidak mengetahuinya juga. Akhirnya, ada saatnya mereka tidak punya pilihan selain bergerak. Aku hanya berharap agar keretakan emosi antara kita dengan mereka tidak semakin buruk sebelum waktunya tiba."
Desahan keluar dari mulut Cheong Myeong.
"Benar. Semua yang dikatakan Jangmun-sahyung mungkin benar."
"….."
"Semuanya benar, kecuali mengapa kita harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga hubungan terkutuk itu dan menjaga kesejahteraan para Yangmin? Sepanjang waktu."
"Tidak akan terlalu lama."
Cheong Mun menggelengkan kepalanya.
"Gerakan mereka tidak biasa. Aku tidak tahu apa tujuan mereka, tapi mereka akan segera bersiap menyerang. Pada saat itu, kita tidak lagi dapat memikirkan hal-hal sepele sebelum berakhirnya perang."
"….."
"Jadi, mari kita tunggu sebentar lagi."
Cheong Myeong yang sedang menatap Cheong Mun dalam diam, tiba-tiba menggaruk kepalanya.
"Kita hanya akan kacau. Jawab saja aku. Jadi kau benar-benar mempercayai para bajingan itu?"
Cheong Mun mengangguk.
"Ya. Aku percaya."
"Tidak, Jangmun-sahyung!"
"Aku tidak yakin mereka akan bertarung untuk kita. Aku bahkan tidak percaya mereka akan menunjukkan belas kasihan kepada kita."
"….."
"Tetapi aku yakin mereka juga tidak menginginkan kehancuran. Aku yakin bahkan mereka juga tidak ingin kalah. Oleh karena itu, aku yakin jika saatnya tiba ketika mereka tidak dapat lagi mundur, mereka akan melakukan yang terbaik untuk melawan. Aku hanya….."
Wajah Cheong Mun menunjukkan tekad yang kuat.
"Menunggu waktu yang tepat."
Keheningan menyelimuti mereka. Cheong Myeong menatap Cheong Mun beberapa saat, lalu menyipitkan matanya dan bertanya.
"Atau apa? Bagaimana jika bajingan itu terus seperti ini sampai akhir?"
"….."
"Bagaimana jika bajingan sialan itu tidak peduli dengan keselamatan kita sampai akhir, lalu menjadi pengecut yang ketakutan dan mundur? Bagaimana jika mereka ternyata lebih hina dan menyedihkan dari yang sahyung kira? Apakah kau akan menyesal nanti karena pemikiranmu salah?"
"Itu tidak mungkin."
"Bagaimana kau bisa yakin? Itu adalah hal yang telah mereka lakukan sejauh ini!"
"Aku akan membuatnya seperti itu."
Cheong Myeong langsung terdiam karena suaranya yang begitu tegas hingga dia hampir tidak bisa mempercayai telinganya.
Setelah beberapa saat, senyuman lembut muncul di wajah Cheong Mun.
"Jadi, mari kita tunggu sebentar lagi, Cheong Myeong."
"….."
"Jika kau tidak mempercayai mereka, percayalah padaku. Menurutku, tidak hanya orang baik yang harus dilindungi menurut moral. Itu adalah Tao karena dapat melindungi orang yang egois dan menyedihkan sekalipun."
Desahan keras keluar dari mulut Cheong Myeong.
"Kau pandai bicara, benar-benar pandai."
Dia mengambil pedang yang ditinggalkannya di atas meja dan melompat dari tempat duduknya.
"Aku tidak tahu seberapa rumitnya, tapi bagaimanapun, aku hanya harus bertarung seperti yang selama ini aku lakukan, kan?"
"….."
"Aku akan bertahan selama yang aku bisa. Namun ada yang harus kau ketahui Jangmun-sahyung, aku tidak bisa terus bertahan selamanya."
"Iya. Aku mengerti."
"Ngomong-ngomong, apa yang kamu katakan…. Sudahlah."
Cheong Myeong menggelengkan kepalanya seolah tidak ingin berdebat lagi dan menuju ke pintu.
"Cheong Myeong-ah."
"Ya?"
"Jangan terlalu membenci mereka."
Cheong Mun berbicara dengan suara pahit kepada Cheong Myeong, yang menoleh ke belakang dengan wajah tegas.
"Mereka juga hanya mengabdi pada sekte mereka sendiri. Sama seperti yang kita lakukan pada gunung hua. Hanya saja..... cara mereka sedikit berbeda dengan cara kita."
"….."
"Mereka takut karena mereka mencintai sektenya, dan mereka tidak mau maju ke garis depan karena mereka peduli dengan murid-murid mereka. Mungkin sulit untuk mengatakan apakah cara itu benar, tapi kecintaan mereka pada murid-muridn mereka tidak berbeda dengan kita."
"Sekte…."
"Ya. Karena itu tolong jangan terlalu….."
"Aku tidak yakin, sahyung."
Cheong Myeong memotongnya dengan suara dingin.
"Aku tidak tahu apa yang sahyung pikirkan, tapi aku bukanlah orang yang peduli terhadap gunung hua seperti halnya sahyung."
"….."
"Jika semua orang seperti sahyung, maka sahyung mungkin benar. Tapi jika semua orang seperti diriku, maka perkataan sahyung mungkin salah. Aku hanya berharap itu tidak terjadi."
Cheong Myeong membuka pintu dan keluar.
Cheong Mun yang ditinggal sendirian, perlahan menutup matanya, merenungkan kata-kata yang ditinggalkan Cheong Myeong.
'Ini berat.'
Cheong Myeong tidak bisa menang sendirian. Kita tidak bisa menang hanya dengan gunung hua saja. Pada akhirnya, mereka harus meningkatkan kekuatannya. Hanya ketika semua kekuatan Kangho bersatu, mereka bisa menghadapi Magyo.
Seseorang harus menjaga pusatnya. Tidak peduli seberapa keras dan sulitnya.
'Tao…..'
Satu-satunya hal yang diharapkan Cheong Mun adalah hati yang dimiliki setiap orang.
***
Cheong Myeong membuka matanya dan menatap langit-langit untuk waktu yang lama.
Saat ia sedang merenungkan mimpinya barusan, tanpa sadar ia menempelkan ujung jarinya ke sudut matanya dan merasakan perasaan basah.
Cheong Myeong bergumam seolah dia sedang mengulangi sesuatu.
"Sahyung….."
Dia ingin bertanya. Jika ia bisa bertemu lagi dengan Cheong Mun…..
'Apa sahyung percaya pada dirimu sendiri sampai akhir?'
Mungkin... jawaban itu tidak diperlukan untuk Cheong Mun, tapi untuk Cheong Myeong sendiri.
Tok Tok.
Pada saat itu, ia mendengar seseorang mengetuk pintu.
Cheong Myeong berdiri, dengan kasar menyeka matanya dengan lengan bajunya.
"Sekarang bukan waktunya untuk terperangkap dalam kenangan lama."
Karena keadaannya saat ini tidak berbeda dengan masa lalu. Tidak, mungkin lebih buruk lagi.
Saat itu, Cheong Myeong percaya pada Cheong Mun. Tapi sekarang orang lain percaya pada Cheong Myeong sama seperti Cheong Myeong percaya pada Cheong Mun saat itu.
Jadi sekaranglah waktunya untuk melawan kenyataan yang ada.
Cheong Myeong turun dari tempat tidur, memegang erat pedang di samping tempat tidurnya.