Return of the Mount Hua Sect (HTL 1634+)

Chapter 11: Chapter 1643. Jadi, Apa Kau Bahagia? (2)



"….. Apa aku bahagia?"

Darahnya menjadi dingin.

Meskipun dia berjanji tidak akan mundur apapun reaksi Jang Ilso, dan meskipun dia yakin Jang Ilso tidak akan pernah menunjukkan permusuhan yang sebenarnya terhadapnya.

Hanya beberapa kata itu membuat darahnya menjadi dingin dan jantungnya berdebar kencang.

"Gamyeong-ah."

Itu adalah sesuatu yang sudah didengarnya berkali-kali. Itu adalah suara yang sudah lama dia dengar. Jang Ilso sudah memanggil nama Ho Gamyeong begitu lama.

Tapi suara itu sekarang jelas berbeda dari apa yang pernah dia dengar sebelumnya. Setidaknya Ho Gamyeong bisa merasakan itu lebih jelas dari siapa pun.

"Apa yang kau maksud dengan itu?"

Mata Jang Ilso mulai menatap tajam pada Ho Gamyeong.

Namun, Ho Gamyeong tidak mudah mundur.

"Itu saja artinya. Aku bertanya apa kau bahagia?"

"Ho Gamyeong!"

Suara Jang Ilso sedikit meninggi.

Tentu saja hanya sedikit lebih keras, tapi artinya tidak kecil. Suasana mencekam dengan ketegangan yang tiba-tiba datang.

Jang Ilso yang sedang menatap Ho Gamyeong, menutupi wajahnya dengan satu tangan. Jari-jarinya yang panjang meremas wajahnya sendiri dengan agak gugup.

"Kau datang menemuiku sepagi ini hanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak berarti apa-apa?"

"Bukankah itu bermakna?"

Saat Ho Gamyeong bertanya dengan tenang, mata Jang Ilso yang terlihat di antara jari-jarinya bersinar seperti serigala ganas.

"Gamyeong-ah….."

"Aku tidak tahu apakah hal-hal seperti itu tidak penting bagi mu, tetapi setidaknya bagi ku, hal-hal itu sangat penting."

"….. Hahah."

Jang Il-so tertawa seolah itu tidak masuk akal.

"Maksudmu, lebih penting bagimu apakah aku bahagia daripada bagaimana keadaannya dan seberapa mendesaknya situasi?"

"Ya."

Itu adalah jawaban tegas yang tidak menyisakan ruang bahkan untuk memasukkan jarum, apalagi ruang untuk berdiskusi. Mata Jang Ilso menyipit secara alami.

"Itu….. Apakah itu adalah kesimpulan yang kau dapatkan dengan kepala dingin?"

"….."

"Hah? Gamyeong-ah? Jawab aku. Itulah kesimpulan yang kau dapatkan dengan kepala cerdasmu. Aku bertanya apakah kesimpulan mu adalah aku sebaiknya berhenti menanggung tekanan ini dan menjadi babi yang mengejar kebahagiaan saja. Apakah begitu?"

Emosi tipis di mata Jang Ilso sekarang bukanlah penghinaan.

Namun terlihat jelas ada sedikit kekecewaan.

Kekecewaan....

Mata yang tadinya dipenuhi rasa percaya yang tak tergoyahkan kini dipenuhi dengan kekecewaan. Seluruh situasi ini mungkin disebabkan oleh Ho Gamyeong sendiri.

Tapi Ho Gamyeong tidak mau menyerah.

"Apakah kau mengatakan tekanan?"

"….."

"Saat aku pertama kali bertemu denganmu, Ryeonju-nim memberitahuku bahwa aku akan melalui neraka."

Jang Ilso sedikit menganggukkan kepalanya.

"Itu benar. Itu memang jalan yang sangat sulit, sebanding dengan neraka. Tapi aku memutuskan untuk melayani Ryeonju-nim meskipun aku tahu itu akan terjadi. Namun….. Apakah kau ingat apa yang aku katakan saat itu?"

"Apa kau bermaksud menyuruhku untuk santai?"

"Tidak. Aku tahu mungkin bersama Ryeonju-nim akan terasa seperti neraka, tapi setidaknya itu akan menyenangkan."

Jang Ilso terdiam. Ho Gamyeong menggigit bibir bawahnya dengan gugup.

"Alasan ku mengucapkan itu pada Ryeonju-nim saat itu bukan karena aku adalah orang yang menganggap itu menyenangkan. Karena Ryeonju-nim lah yang menganggap itu menyenangkan. Saat itu, Ryeonju-nim adalah orang yang bisa tertawa dan mengejek musuhnya bahkan di tengah neraka. Tapi apakah Ryeonju-nim saat ini benar-benar seperti itu?"

Jang Ilso memelototi Ho Gamyeong tanpa menjawab. Tidak, mungkin bukan karena dia tidak menjawab, tapi dia tidak bisa.

Dia mungkin sudah mengetahui hal ini.

Tidak mungkin orang setinggi Jang Ilso tidak mengetahui apa yang ingin dikatakan Ho Gamyeong. Jika dia tidak menyadari apa maknanya sejak awal, dia tidak akan bereaksi sekuat itu.

"Jadi?"

Gigi putih terlihat di antara bibir bengkok Jang Ilso. Tajam dan ganas, seolah hendak mencengkeram bagian belakang leher seseorang dan menggigitnya.

"Bagaimana kalau menurutku ini tidak menyenangkan? Apa yang kamu ingin aku lakukan? Apa maksudmu setidaknya aku harus menikmati situasi ini? Atau haruskah aku melepaskan semuanya di sini dan minum-minum saja? Hah?"

Desahan kecil keluar dari mulut Ho Gamyeong.

Dia akhirnya memahami dengan jelas dari percakapan ini.

Pemandangan itu. Pemandangan hari itu.

Jang Ilso tidak bisa lepas dari pemandangan yang bahkan Ho Gamyeong takut melihatnya lagi dalam mimpinya.

"Jika ada musuh, kita bertarung."

"….."

"Jika kau tidak bisa menang dengan keterampilan, kau menggunakan rencana. Bahkan jika rencana tidak berhasil, kau menggunakan racun, memasang jebakan yang mengerikan, menyandera, dan menjilat jari kaki lawan untuk membuat mereka kehilangan kewaspadaan."

Wajah Jang Ilso semakin kaku dan dingin.

"Itulah cara Paegun yang aku kenal."

"….."

"Orang yang tidak mencari cara untuk melarikan diri hanya karena dia tidak bisa menang, tapi orang yang akan berusaha keras untuk menang walau dengan cara licik, dan jika itu juga tidak berhasil, kau hanya akan tertawa dan mengakui kekalahan. Itulah Paegun!"

"Ho Gamyeong!"

Sebuah teriakan akhirnya keluar dari mulut Jang Ilso. Ho Gamyeong balas berteriak dengan jelas namun putus asa.

"Apa sebenarnya yang kau lihat hingga membuatmu menyerah untuk melawan? Seorang Paegun! Apakah kau memberitahu ku bahwa Jang Ilso kehilangan keinginan untuk bertarung dan melarikan diri!"

Craang!

Botol minuman keras di tangan Jang Ilso pecah dan jatuh ke lantai berkeping-keping. Alkohol mengalir melalui tangannya. Aromanya menyebar tidak sesuai dengan situasi.

Keheningan singkat terjadi.

Keheningan itu seolah memisahkan keduanya. Jang Ilso mengeluarkan suara yang keras, dan sangat kejam hingga terasa dingin.

"….. Kau banyak bicara."

Jang Ilso menghela nafas sebentar sambil menyeka alkohol dari tangannya.

"Apa yang kau lihat dengan matamu dan apa yang aku lihat dengan mataku berbeda."

"Ryeonju-nim."

"Jika kau bisa merasakan apa yang aku rasakan, kau tidak akan bisa mengatakannya semudah itu padaku sekarang. Apakah kau mengerti maksudku?"

"Apakah begitu?"

Ada cahaya redup di mata Ho Gamyeong.

Jang Ilso tahu. Apa emosi tipis di mata itu? Perasaan yang tidak jauh berbeda dengan perasaannya saat masih muda.

"Kalau begitu, artinya sampai saat ini, Ryeonju-nim hanya menjadikan orang-orang yang sanggup dia hadapi sebagai musuh."

Jang Ilso yang sedang menyeka tangannya tiba-tiba berhenti bergerak.

Mata seperti ular berbisa itu menatap lurus ke arah Ho Gamyeong.

"Apa yang baru saja kau katakan?"

"Apakah aku salah?"

"Gamyeong-ah."

Ekspresi Jang Ilso berubah.

"Ada batas yang harus dijaga antar manusia. Ada garis yang tidak boleh kau lewati seberapa pun jauhnya."

"Tidak. Bukan aku yang melewati batas itu. Kau lah yang melewatinya, Ryeonju-nim."

Sudut mulut Jang Ilso melengkung. Senyuman tulus itu sungguh menakutkan.

"Baiklah. Teruskan. Mari kita lihat seberapa jauh kau bisa melangkah"

"Apakah ini cara Paegun untuk menyerah melawan musuh yang tidak dapat dikalahkannya?"

"Tidak. Menemukan jalan adalah caraku. Namun, apa yang benar untuk dilakukan jika aku tidak dapat menemukan jalannya? Apakah saya harus memaksa menggunakan cara yang jelas tidak akan berhasil dan akhirnya hancur? Lagipula aku akan mati, jadi haruskah aku mati lebih cepat?"

"Benarkah tidak ada cara lain?"

"….."

"Cara Paegun yang saya kenal bukan seperti itu. Jika peluang untuk menang hanya 1 dari 100, kau harus menemukan cara agar peluang 1 dari 100 itu berhasil untukmu. Itulah cara Myriad Man House, cara Paegun, dan juga cara Jang Ilso."

"Jadi sekarang…!"

"Bergabunglah dengan para bajingan sekte ortodoks."

Jang Ilso yang mencoba memprotes, tersentak dan membeku.

Keheningan kembali berkumpul di antara keduanya. Setelah hening lama, Jang Ilso membuka mulutnya.

"Barusan… apa yang kau katakan?"

"Bergandengan tangan dengan bajingan sekte ortodoks."

"…..Ha. Ha ha."

Tawa hampa keluar dari mulut Jang Ilso.

"Apakah menurutmu itu masuk akal?"

"Tentu tidak mungkin kalau tidak ada musuh bersama. Namun, jika ada musuh bersama, hal itu mungkin saja terjadi. Jika mereka juga memahami keberadaan 'dia', mereka akan menggandeng tangan Ryeonju-nim. Itu adalah fakta yang dibuktikan oleh sejarah."

Jang Ilso metutup mulutnya.

"Jika kemungkinan menang dalam suatu pertarungan rendah, tingkatkan kemungkinan menang. Jika itu metode Jang Ilso, bergabung dengan mereka adalah cara paling pasti untuk meningkatkan peluang menang. Jadi apakah ada alasan untuk tidak mempertimbangkannya?"

Ketika kata-kata Ho Gamyeong berlanjut, mata Jang Ilso mengerut.

Mata Ho Gamyeong tampak menyipit.

Tak jarang Jang Ilso menunjukkan ketidaksetujuan. Bagaimanapun, dia adalah orang yang mengejek segala hal.

Tapi penolakan yang ditunjukkan oleh Jang Ilso sekarang lebih mirip dengan rasa jijik daripada kebencian.

Perasaan keengganan fisiologis, seperti ketakutan orang terhadap ular atau rasa jijik terhadap serangga. Itulah jenis penolakan yang ditunjukkan oleh Jang Ilso sekarang.

Setelah beberapa saat, Jang Ilso menekan pelipisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Ini tidak masuk akal."

"Ryeonju-nim."

"Gamyeong-ah. Gamyeong-ah. Kau bilang kau bermimpi entah dari mana, dan kau membicarakannya seolah-olah itu hanya mimpi. Aku penasaran apa yang akan kamu katakan."

Jang Ilso tertawa terbahak-bahak.

"Oke. Kamu mungkin benar. Itu mungkin salah satu caranya. Tapi Gamyeong-ah. Bahkan setelah melihat mereka seperti itu, kau tidak mengenal mereka? Apakah menurutmu babi-babi itu mau mempercayaiku? Pada situasi seperti ini?"

"….."

"Tidak, anggap saja mereka mempercayainya. Katakanlah mereka mempercayai saya. Kalau begitu, apakah menurutmu mereka akan bergandengan tangan denganku?"

Kali ini giliran Ho Gamyeong yang diam.

"Bukankah kau tahu betul bahwa itu tidak mungkin?"

Jang Ilso tertawa dengan sinis.

"Terkadang kebencian melampaui akal sehat. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang akan membunuh orang lain, meskipun itu berarti membuat diri mereka sendiri terbunuh. Namun….. Apakah mereka benar-benar bersedia bergandengan tangan dengan ku untuk bertahan hidup?"

"Mereka juga bukan orang bodoh."

"Strategi militer ada di dalam buku. Tapi manusia tidak hidup di dalam buku."

"….."

"Ada banyak orang di sana yang kehilangan keluarga dan anggota sektenya karena tanganku. Tapi mereka akan mendukungku demi kata konyol seperti 'kebenaran'?"

Wajah Jang Ilso berubah dengan kejam.

"Itu bahkan tidak lucu. Rekan kerja yang perlu diwaspadai karena kau tidak pernah tahu kapan mereka akan menusuk mu dari belakang lebih buruk daripada musuh yang gigih. Jika rekan setara tidak bisa diandalkan, semuanya sia-sia. Mengapa kau tidak mengerti?"

"Kedengarannya aneh."

"….Apanya yang aneh?"

"Dari apa yang Ryeonju-nim katakan saja, sepertinya kau tidak akan pernah bersekutu dengan sekte ortodoks, namun kenyataannya kau sudah pernah melakukan itu, kan?"

"….."

"Dulu, kau bertarung bahu membahu dengan mereka di Hangzhou, jadi mengapa kau tidak bisa mengambil pendekatan yang sama lagi sekarang? Apakah karena keadaan sudah berubah sejak saat itu? atau jangan-jangan..…"

Wajah Jang Ilso menjadi kaku.

Tanpa menyadarinya, Ho Gamyeong sedang tersenyum dingin saat ini.

"Apakah kau menjadi orang yang berbeda dari yang dulu?"

Jang Ilso berdiri, seolah dia telah mendengar sesuatu yang tidak dapat dia toleransi. Namun Ho Gamyeong juga tidak mundur.

"Coba kau ngomong lagi."

"Aku bertanya apakah Ryeonju-nim sudah berubah."

"Kau….."

Mata biru cerah Jang Ilso dan mata tajam Ho Gamyeong bertabrakan.

Ini adalah pemandangan yang belum pernah ada sebelumnya. Sebuah 'konfrontasi' yang belum pernah ada.

Langkah kaki yang sebelumnya selalu menuju ke tempat yang sama, tetapi pada saat ini sedikit, dengan pasti, bergerak ke arah yang berlawanan.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.