Chapter 7: Chapter 1639. Bahkan Binatang Pun Tahu Rasa Terima Kasih (4)
Berapa kali dirinya menerima pukulan?
Rasa sakit semakin menjauh, dunia menjadi semakin tidak jelas.
Tapi tidak ada kemarahan, tidak ada keputusasaan. Hanya ada pemikiran samar bahwa mungkin keluarganya juga mengalami hal yang serupa.
Mungkin mati seperti ini lebih baik? Tidak perlu lagi merasakan sakit penderitaan batin yang serasa membakar isi perut hingga hangus.
Sebuah sensasi menusuk melintas di wajahnya.
"Bocah sok berani ini... beraninya kau menyebut nama ketua kami di mulutmu?"
Meskipun wajahnya kabur, tetapi tatapan mata yang penuh gila itu jelas terlihat. Walaupun dalam situasi yang tidak pantas untuk itu, tawa seakan ingin tergelincir dari bibirnya.
"Terlalu cepat untukmu mati. Bangun. Aku akan menunjukkan betapa kejamnya tangan sekte Iblis Putih (백귀당/白鬼當) kepadamu."
Sebuah pisau dingin menyentuh leher Ho Gamyeong. Dia bahkan tidak sadar kalau dirinya kesakitan karena inderanya mati rasa. Dia baru saja mencoba memuntahkan darah yang menumpuk di mulutnya, ketika ia mendengar suara seseorang.
Gendang telinganya pasti rusak, karena ia merasa linglung seolah-olah mendengar suara dari luar saat berada di bawah air.
"Apa?"
"Bukankah bocah ini sedang mencari kepala keluarga? Jadi itu memberi saya topiknya."
"Ini…. Dasar bajingan bodoh!"
"Ya?"
"Apakah kau lupa bahwa ketua memerintahkanmu untuk membawa siapa pun yang datang mencarinya hidup-hidup?"
Ho Gamyeong perlahan mengedipkan matanya yang bengkak.
Wajah orang yang menyiksanya beberapa saat yang lalu menjadi seputih roh jahat di neraka. Sementara itu, pisau yang menyentuh leher Ho Gamyeong masih di sana, dan setiap kali tangannya gemetar, garis-garis merah muncul di berbagai bagian kulit lehernya.
"Yah, memang seperti itu….."
"Dasar bajingan!"
Buakk!
Orang yang menegur akhirnya marah dan meninju bagian wajah pria tersebut. Dia bahkan mengertakkan gigi saat melihat pria itu jatuh tanpa bisa berteriak.
"Kalau kau ingin mati, matilah sendiri. Jangan menyeret orang lain, dasar bajingan!"
Orang yang memancarkan kemarahan terhadap pria itu menoleh dan menatap Ho Gamyeong. Ekspresi ketakutan terlihat jelas di wajahnya saat dia memeriksa kondisinya.
Tak lama kemudian, desahan lega keluar.
"…..Dia masih bernapas."
Dia berjalan pergi sambil membawa Ho Gamyeong yang berlumuran darah di bahunya.
Duakk.
Dia pasti kehilangan kesadaran pada saat itu, tapi terbangun dari keterkejutan karena terlempar ke lantai. Ho Gamyeong membuka matanya dengan susah payah.
Dia bahkan tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu.
Saat itu sangat gelap. Apa karena ini malam? Atau di dalam ruangan tanpa cahaya?
Yang bisa dilihatnya hanyalah kegelapan pekat dan cahaya lampu yang berkelap-kelip samar-samar.
Setelah menyesuaikan diri dengan kegelapan sejenak, dia menyadari kemana dia dibawa.
Ruangannya luas, tapi tidak memiliki perabotan atau perlengkapan umum, jadi istilah "gudang" akan lebih tepat. Lusinan pria tersebar di ruangan suram itu.
Botol-botol minuman keras yang pecah berguling-guling di sana-sini, dan aroma tajam yang tidak dapat dikenali menusuk hidungku.
Ada yang bersandar di tembok dengan mata tertutup, ada pula yang terhuyung seolah-olah akan roboh namun tidak melepaskan botol minumannya.
Itu adalah pemandangan yang menyedihkan, tanpa jejak moralitas.
Dia belum pernah melihat ini sebelumnya dalam hidupku...
Tidak, pertama-tama, Ho Gamyeong yang membeku, tidak bisa mengatakan apa pun di depan pemandangan yang tidak pernah dia bayangkan akan dilihatnya dengan matanya sendiri.
Saat itu, ia mendengar suara yang menarik perhatiannya.
"Apa?"
Kesan pertama yang didapat dari suara itu aneh.
Itu terang dan gelap, tinggi dan rendah.
Dan terlepas dari semua karakteristik itu...Itu kasar.
Meskipun itu hanya sebuah kata singkat, kalimat itu terasa dipenuhi dengan keganasan cakar binatang yang ditempa secara liar.
Suatu keganasan sehingga setiap orang yang mendengarnya tidak dapat menahan diri untuk tidak bergeming secara naluriah.
"Dia bilang dia datang menemui ketua."
"Aku?"
Di antara pria yang tersebar, satu orang perlahan berdiri.
Ho Gamyeong menatapnya dengan mata bengkak.
Kesan pertamanya adalah 'halus'. Meskipun dia memiliki fisik yang sesuai dengan deskripsi seperti itu, suaranya jelas menunjukkan keganasan. Pria yang agak kurus itu berjalan ke arahnya dengan sangat santai.
Apa yang lebih terlihat dari langkahnya yang goyah adalah wajah putih pria itu yang terlihat di bawah cahaya lampu. Sama sekali tidak cocok dengan tempat seperti ini.
Dia berwajah putih, lebih mirip seorang sarjana Konfusianisme daripada Ho Gamyeong, yang benar-benar hidup sebagai seorang sarjana Konfusianisme.
Mata tajam di wajah pucat itu menatap ke arah Ho Gamyeong.
"Sepertinya mayat pun bisa berbicara."
"Yah, itu… Aku masih hidup.... "
"Ah masa?"
Mata pria berwajah putih itu melengkung indah seperti bulan sabit. Sebelum...
Stab!
"Aaaaaaaaaah!"
Sebelum ia sadari, sebuah bido seukuran telapak tangan anak-anak yang dipegang di tangan pria itu tanpa ampun ditancapkan di bahu orang yang membawa Ho Gamyeong.
"Diam."
"Salahku, ketua! Maafkan aku! Kumohon!"
"Aku pemaaf. Jika aku tidak memaafkanmu, itu sudah tersangkut di tenggorokanmu, kan?"
Cahaya ganas muncul di mata pria berwajah putih itu. Darah yang terciprat memenuhi wajah putihnya.
"Jangan menggeliat. Jika aku semakin kesal, aku mungkin tidak tahan lagi, lalu akan memegang kepalamu dan merobeknya. Oh, lalu jangan berteriak. Itu membuat telingaku sakit."
Pria berwajah putih, yang dengan kejam melempar bawahannya, tidak menyembunyikan ekspresi menghinanya saat dia melihat orang yang jatuh itu.
"Kau terlihat tidak berguna."
"Keuk, uhuk…. Maaf…."
Pria berwajah putih itu sepertinya sudah kehilangan minat pada pria yang jatuh itu dan menatap Ho Gamyeong lagi.
Wajahnya yang putih bersih menunjukkan ekspresi yang agak tidak senang.
"Kau mungkin membawa sesuatu yang menarik…."
Dia menyeka darah di tangannya seolah-olah kotor dan memperlihatkan giginya. Itu tampak seperti serigala yang mencium bau darah.
"Dalam hal ini, akan lebih baik untuk memanggil seorang biksu Tao dan melaksanakan pemakaman. Pergi saja dan kuburlah...."
Saat itu, tubuh Ho Gamyeong tersentak. Di saat yang sama, ekspresi ketertarikan muncul di mata pria itu.
"Hmm?"
Siapa pun dapat melihat bahwa tidak aneh jika dia berhenti bernapas kapan saja, apalagi bergerak. Meski begitu, Ho Gamyeong gemetar dan entah bagaimana berhasil bangun. Dia bahkan duduk tegak dan menatap lurus ke arah pria berwajah putih itu.
Apakah dia tertarik dengan kekuatan dan kegigihan yang terlihat saat ini? Pria berwajah putih itu memiliki tatapan aneh di matanya.
"Itu menarik. Kau datang menemuiku?"
Ho Gamyeong menganggukkan kepalanya dengan susah payah.
"Siapa kau?"
"...Ho Gamyeong."
"Orang bermarga Ho…."
Pria berwajah putih itu bergumam sejenak lalu tersenyum sambil memperlihatkan giginya.
"Kupikir ada keluarga terkenal di dekat sini? Apakah ini keluarga yang diserang oleh sekelompok pencuri dan seluruh keluarganya dibantai dalam semalam?"
".…."
"Oh benar. Ini adalah rumor yang diketahui di permukaan, dan kebenarannya adalah bahwa Wangsa yang seperti babi mempermainkan dan membakar fondasi keluarga? Hmm... karena sebelumnya pernah mengkritik kezaliman Wangsa?"
Bahu Ho Gamyeong bergetar sebentar.
"Apakah aku benar?"
Ho Gamyeong mengangguk lagi kali ini. Mungkin karena rasa sakit fisiknya yang berat, atau karena kebencian di hatinya begitu besar, sehingga satu gerakan kecil saja sudah sangat memberatkan.
"Kalau begitu, kau pasti anak dari Tuan Ho Gyeong, kepala keluarga Ho. Aku dengar kau pergi belajar ke luar negeri di Beijing."
Pria berwajah putih itu mencibir keras.
"Oke. Mengapa orang luar biasa itu datang menemuiku? "
Mata Ho Gamyeong mengeluarkan tatapan racun biru cerah.
"Kesepakatan..… Aku datang untuk melakukannya."
"Kesepakatan?"
Wajah putihnya sedikit berubah.
"Apa yang kuinginkan… adalah… balas dendam."
"Pembalasan dendam…. Kepada bajingan yang menginjak-injak keluargamu?"
Ho Gamyeong mengangguk.
"Hmm. Apa bayarannya?"
"Bayarannya adalah kekayaan. Aku akan memberimu kekayaan yang tak pernah kau bayangkan."
"Kekayaan… Itu sangat tidak terkira, bukan?"
Ho Gamyeong mengertakkan gigi dan mengangguk lagi.
"Apakah kamu mengatakan namamu adalah Ho Gamyeong?"
"Ya…."
"Ho Gamyeong. Apakah kau tahu siapa aku?"
"Baek… An-gwi…, Jang Ilso." (artinya iblis bermata putih, titlenya Jang Ilso sblm Paegun)
"Hoo?"
"Kudengar… hanya ada satu di kota ini.... Ada orang yang rela melakukan apa saja asalkan bayarannya sesuai. Ada iblis yang mengolok-olok moralitas dan kemanusiaan terlepas dari lawan atau pun tujuannya."
Pria berwajah putih itu tertawa seolah baru saja mendengar cerita menarik.
"Kau mengenalku dengan baik."
Buaakk.
Saat itu, tubuh Ho Gamyeong terjatuh ke belakang. Jang Ilso, yang menghantam Ho Gamyeong, mendekatinya dengan wajah cerah.
"Babi kau."
Krak. Krak.
Dia mendekati tubuh yang terjatuh dan kejang-kejang. Lalu meremukkan tangan Ho Gamyeon yang terentang di lantai.
Kretek! Kreeek!
Tulang hancur dan daging terkoyak. Ho Gamyeong bahkan tidak bisa berteriak dan mengejang. Sebuah suara dengan nada ganas terdengar di atas kepalanya.
"Kau menebak dengan baik, tapi ada yang salah."
"Ugh....."
"Kekayaan? Kau akan membayarku dengan hal seperti itu? Sesuatu seperti itu?"
Tubuh Ho Gamyeong gemetar kesakitan.
Tanpa menunjukkan simpati apapun, Jang Ilso tiba-tiba menjambak rambut Ho Gamyeong yang roboh dan mengangkatnya. Dia memelototinya dengan mata yang membara. Seolah-olah dia akan menyerang kapan saja dan menggigit bagian belakang lehernya.
"Sepertinya aku terlihat bercanda. Apa kau pikir dengan melemparkan beberapa koin kepadaku, aku akan menjadi anjingmu?"
Buaakk.
Ho Gamyeong terbang dan terlempar ke dinding tanpa ampun. Jang Ilso mendekat lagi dan kali ini menginjak pergelangan kakinya.
Kraakk!
"Aa… Argh!"
Ho Gamyeong akhirnya tidak tahan lagi dan berteriak serta memutar matanya.
"Kesepakatan bisa terjalin ketika kedua belah pihak menawarkan sesuatu yang menarik bagi kedua belah pihak. Jangan memaksakan apa yang menurut mu berharga padaku."
"Urgh…."
"Bajingan bodoh."
Kraakk!
Jang Ilso yang baru saja mematahkan pergelangan kakinya, melirik Ho Gamyeong yang jatuh ke samping dan berbalik tanpa ragu-ragu.
"Ku pikir kau mungkin membawa sesuatu yang menarik."
Orang-orang yang tergeletak di sekitar tiba-tiba berdiri dan melihat pemandangan yang familiar namun menakutkan. Salah satu dari mereka bertanya.
"..…Apa yang harus kita lakukan terhadap pria itu, ketua?"
"Bersihkan dengan benar."
"Ya."
Orang yang menerima perintah itu berusaha segera bergerak, namun berhenti di tempatnya sejenak.
Setidaknya dalam hal perintah, Jang Ilso adalah mutlak. Namun kini bawahannya tidak langsung bergerak. Tatapan Jang Ilso secara refleks berbalik.
Segera, emosi aneh muncul di mata pucatnya.
Ho Gamyeong yang terinjak-injak parah dan dianggap tidak sadarkan diri, masih berusaha bangun.
Ho Gamyeong merangkak turun dengan tubuh gemetar, menyatukan lutut, dan perlahan duduk tegak. Namun, postur tubuhnya tidak memungkinkan benar karena pergelangan kakinya terpelintir dan patah, ia mengulurkan tangan dan meraih bagian yang patah itu.
Krak!
Suara mengerikan terdengar.
Ho Gamyeong mengembalikan kakinya yang terpelintir ke posisi semula, lalu mengambil posisi duduk yang sempurna, dan perlahan menundukkan kepalanya.
Sebuah suara pelan perlahan menyingkirkan kesunyian yang memenuhi ruangan.
"Baiklah… Kalau begitu….. Apa yang kau inginkan....."
Mata Jang Ilso tenggelam dalam.
"Mau itu tubuhku….. Jiwaku atau apapun....."
Kepala Ho Gamyeong menyentuh lantai.
"Bodohnya aku, apa….. Aku tidak tahu apa yang harus aku tawarkan untuk membuat kesepakatan denganmu. Jadi izinkan aku bertanya kepadamu."
Ho Gamyeong mengangkat kepalanya lagi dan menatap Jang Ilso.
"Aku….. Apa yang harus ku berikan? Apa yang harus aku lakukan agar kau mau membalaskan dendamku?"
Mereka yang berdiri di sini melewati garis api berkali-kali. Orang-orang yang telah menjalani kehidupan yang begitu mengerikan sehingga sulit untuk dibayangkan.
Tapi sekarang mata Ho Gamyeong begitu kejam sehingga bahkan orang-orang itu pun gelisah.
"Kumohon."
Ho Gamyeong menundukkan kepalanya lagi. Jang Ilso, yang terdiam saat menatap pemandangan itu, membuka mulutnya.
"Apakah ada alasan untuk melakukan itu? Ku dengar kau disukai oleh pangeran? Bahkan jika pangeran tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Wangsa sekarang, kekuatannya akan segera mampu menekan Wangsa, bukan?"
"..…"
"Apakah ada alasan untuk membuang segalanya dan melakukan sesuatu yang bisa saja terjadi bahkan jika kau menunggu saja?"
Mendengar kata-kata itu, Ho Gamyeong menatap lurus ke arah Jang Ilso.
".… Jika bukan `sekarang'."
"Hmm?"
"`Saat aku memiliki kekuatan'…, `setelah aku mendapatkan kekuasaan yang cukup'."
Kreet.
Ho Gamyeong mengertakkan giginya dengan kasar. Urat di dagunya menonjol.
"Balas dendam yang dicapai melalui simpati murahan... Apa gunanya!"
Sebuah suara yang lebih putus asa dibandingkan tangisan lainnya di dunia ini menusuk telinga Jang Ilso dengan keras.
"Jika aku bisa melakukannya dengan tanganku sendiri, aku akan melakukannya meskipun itu berarti merobek dagingku sendiri dan membuangnya. Jika aku tidak bisa melakukannya dengan tanganku sendiri, aku akan menggigit orang itu meskipun aku menjadi iblis. Tetapi jika itu pun tidak berhasil!"
Mata merah menatap lurus ke arah Jang Ilso.
"Aku tidak punya pilihan selain menemukan seseorang yang akan membunuhnya dengan cara yang paling menyakitkan."
Kepala Ho Gamyeong tertunduk lagi.
"Tolong. Kumohon….."
"….."
Jang Ilso menatapnya dalam diam. Dengan mata dingin yang tidak berubah dari sebelumnya.
"Itu alasan yang tidak masuk akal."
"….."
"Merupakan penghiburan diri bagi para bajingan untuk percaya bahwa orang akan mendengarkanmu jika kau bersungguh-sungguh memohon."
Tubuh Ho Gamyeong gemetar.
"Tetapi…."
Lalu Ho Gamyeong mendongak dan melihat. Sudut mulut Jang Ilso melengkung ke atas dengan lembut.
Anehnya, senyuman itu tampak begitu polos sehingga tidak cocok dengan apa pun di sini.
"Aku memiliki sesuatu yang ingin kumiliki. Kuterima kesepakatan ini. Karena itu…."
Mata Jang Ilso memancarkan cahaya aneh dan dipenuhi tawa.
"Kau harus membayar harga yang sangat mahal untuk itu, Ho Gamyeong."
Sosok Ho Gamyeong yang kebingungan terpantul di mata yang sangat cerah itu.