Chapter 405: Memenangkan Hati Sebelum Meminta
Ian datang setelah memanggil mantan anak buahnya itu. Melihat bahwa Randika dan Indra masih ada di sini, dia dengan cepat mengangkat tangannya yang kesakitan itu dan membentak. "Itu dia orangnya!"
Dalam sekejap, 20 orang sudah mengepung mereka.
"Kamu telah melukaiku dan harga diriku, sekarang aku tidak akan membiarkan kalian pergi hidup-hidup." Kata Ian dengan arogan. "Hari ini aku akan menari di atas mayat kalian, sekarang cepat pilih, mau mati dipenggal atau mati perlahan?"
Randika mengedipkan matanya dan tersenyum. "Sejujurnya, seharusnya kami yang bertanya seperti itu pada kalian."
"Hah? Masih sok kuat?" Wajah Ian terlihat jijik. "Orang-orangku ini adalah preman-preman terbaik di kota ini, mana mungkin mereka kalah hanya karena dua orang?"
"Lihat saja nanti." Kata Indra dengan penuh percaya diri.
Randika memberi isyarat pada Indra agar dia tidak ikut campur, dia lalu menatap Ian sambil tersenyum. "Kalau begitu, apakah kalian bisa tidak main keroyok?"
Salah satu dari preman itu tertawa, dia berjalan maju sambil membawa parangnya. "Menarik, aku sendiri yang akan membunuh kalian."
Setelah itu, dia menatap Randika dan Indra bagaikan mereka adalah tikus yang terperangkap.
Meskipun dia tahu bahwa kedua pengawal Ian tadi sudah dihajar mereka, dengan adanya parang di tangannya, mana mungkin dia bisa kalah?
Para preman ini pernah berhutang budi pada Ian, jadi mereka tidak segan-segan membunuh orang apabila diminta oleh Ian.
Randika menatap lawannya dan dengan santai merogoh saku celananya. Ketika orang-orang menahan napas melihat tindakan Randika ini, rupanya Randika mengeluarkan sebuah jari tengah dari saku celananya.
"Gila, masih berani seperti itu dia!"
Bukan hanya preman itu saja yang terkejut, orang-orang yang melihat mereka dari jauh terkejut melihat aksi menantang dari Randika itu. Sepertinya dia benar-benar cari mati.
Preman itu menyeringai. "Awalnya aku hanya ingin memotong kakimu dan melepaskanmu, tetapi kamu berani sekali menghinaku, kamu akan mati duluan!"
Dengan parang di tangannya, dia menerjang maju dan menyerang Randika.
Randika mengeluarkan koin yang diam-diam dia ambil dari saku celananya. Di bawah tatapan orang-orang, dia menembakkan koin itu dengan jempolnya ke arah lawannya.
Meskipun dia mengalirkan tenaga dalamnya tidak terlalu banyak, seharusnya itu sudah cukup.
Koin itu melesat dengan kecepatan tinggi, lawannya ini benar-benar tidak menduga serangan Randika ini. Koin itu dengan sukses menembus dan bersarang di tenggorokannya. Ketika orang itu menerjang maju, dia merasa ada sesuatu yang menyengat di tenggorokannya. Setelah itu, dia merasa dunia menjadi hitam dan badannya menjadi lemas. Terlebih lagi, dia sama sekali tidak bisa bersuara sedikitpun.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Semua orang benar-benar bengong, mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Kenapa orang itu tiba-tiba terjatuh ke tanah?
Semua orang saling memandang, mereka tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Para preman ini juga sama, hasil pertarungan ini benar-benar mengejutkan bagi mereka.
Preman itu tengah sekarat sambil memegangi tenggorokannya dan terbatuk-batuk, hanya butuh hitungan detik hingga akhirnya dia mati.
"Bedebah!"
Seorang preman yang tidak terima segera menerjang ke arah Randika, tetapi Randika menanggapi ini dengan tenang. Dia kembali menembakkan koin di tangannya yang sudah dialiri tenaga dalamnya, kali ini koin menancap di dahi.
Kali ini, serangan koin ini bagaikan palu yang menyerang tulang. Orang tersebut bahkan tidak sempat melihat kilasan-kilasan balik kenangannya, dia sudah tergeletak dan mati di tempat.
Hasil yang sama!
Orang-orang bertepuk tangan, kekuatan Randika benar-benar mengerikan. Sekarang mereka justru kasihan dengan Ian dan anak buahnya.
Serangan koin Randika ini benar-benar cepat, mustahil untuk dihindari.
Randika tersenyum sedikit, dia menatap semua preman yang mengepungnya itu.
Beberapa preman itu saling memandang, akhirnya mereka menyerang Randika bersama-sama. Randika masih mempunyai koin yang banyak, dia membunuh mereka satu per satu dengan santai.
"Bodoh, serang dia bersama-sama!"
Pada awalnya, Ian merasa ketakutan ketika melihat dua anak buahnya itu mati di tempat. Satu-satunya cara adalah menyerangnya secepat mungkin dan mengalahkannya dengan jumlah!
Pada saat yang sama, hampir semua orang yang tersisa menerjang ke arah Randika. Dengan bersenjatakan koin di tangannya, Randika melumpuhkan mereka satu per satu.
"ARGH!!"
Para preman ini jatuh satu per satu berkat serangan Randika yang tak kasat mata itu.
Orang-orang yang menonton pada kebingungan semua. Seharusnya yang tergeletak sekarang adalah Randika, kenapa para preman itu yang justru terkapar?
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Boneka ginseng di pundak Indra bertepuk tangan dengan gembira, ia terlihat senang.
Begitu banyak orang telah dikalahkan oleh Randika tanpa bergerak sama sekali, penampakan ini benar-benar mengejutkan.
Melihat sosok Randika yang berdiri tegak, semua penonton benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa.
Benar-benar luar biasa!
Randika menatap Ian dengan samar, dia sudah melumpuhkan semua anak buahnya, sekarang tinggal Ian yang merupakan kepalanya.
Suara Ian terdengar gemetar. "Aku tidak akan melupakan kejadian ini!"
Setelah berkata demikian, Ian berlari sekuat tenaga. Namun, belum jauh dia berlari, kakinya telah diserang oleh sebuah koin.
Ketika koin itu mengenai kakinya, dia langsung mengerang kesakitan. Rasa sakit itu serasa hampir membunuhnya.
Randika sudah tidak peduli lagi, dia membawa Indra dan boneka ginseng keluar dari tempat ini. Tujuan mereka adalah rumah Randika.
...…
Sesampainya di rumah, rupanya Inggrid dan Hannah masih belum pulang. Randika lalu mempersilahkan Indra untuk duduk di sofa.
"Indra, bagaimana dengan para kakek?" Tanya Randika.
Sejujurnya, Randika tidak terlalu khawatir dengan keempat kakeknya mengingat mereka adalah para ahli yang tiada tanding. Tetapi, Randika benar-benar ingin segera bertemu dengan mereka karena dia membutuhkan kakek ketiganya untuk mengembangkan sebuah obat agar dia bisa mengendalikan kekuatannya.
"Mereka belum pulang." Indra menggelengkan kepalanya. "Masih belum ada kabar dari guru, aku selama ini tinggal sendirian di gunung."
Desa Jaga adalah desa yang dimiliki oleh keempat kakeknya itu, jika mereka pergi, tentu saja desa itu menjadi kosong. Karena tempatnya yang cukup terpencil, jarang ada orang yang mau tinggal di desa kakeknya itu.
Mendengar jawaban Indra, Randika sedikit sedih. Dia benar-benar butuh bantuan dari kakeknya itu.
Pada saat ini, boneka ginseng yang selama ini duduk di atas pundak Indra segera melompat turun dan memanjat ke meja. Di atas meja, ada cemilan milik Hannah sebelumnya.
Boneka ginseng itu mencium baunya dan mengangkatnya tinggi, tatapan matanya terlihat berbinar-binar. Ia kemudian membuka bungkusnya dan memakan keripik kentangnya.
Randika menatap boneka ginseng makan dengan lahap, tiba-tiba suasana hatinya kembali nyala. Benar, meskipun kakeknya tidak ada di sini, bukankah ada boneka ginseng?
"Hei…"
Boneka ginseng itu sedang asyik memakan keripik kentangnya, ia terlihat sedang memberi skor pada makanan unik ini. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya dan menoleh. Ia benar-benar kaget ketika melihat wajah tersenyum Randika yang sudah dekat dengannya.
Ini pasti konspirasi, senyuman wajah itu pasti menandakan sesuatu!
Boneka ginseng ini terlihat waspada dengan Randika, ia merasa ada sesuatu yang salah dengan temannya ini.
"Apakah enak?" Randika membantunya membuka satu bungkusan lagi. "Jika kamu suka, aku masih punya banyak lagi seperti ini."
Randika tidak peduli apakah boneka ginseng itu dapat memahami kata-katanya atau tidak, yang penting adalah memenangkan hatinya terlebih dahulu.
Boneka ginseng itu mengambil satu keripik yang ada di dalam bungkusnya dan memakannya, wajahnya langsung tersenyum dan dia terlihat puas dengan makanannya.
Randika lalu berkata dengan cepat. "Aku akhir-akhir ini kurang sehat, aku butuh obat yang manjur untuk penyakitku. Hei, apakah kamu bisa memberikanku beberapa tetes darahmu?"