Chapter 387: Tamasya
Tidak lama kemudian, Adrian datang membawakan hasilnya.
"Pak, airnya baik-baik saja." Kata Adrian. "Seperti yang sebelumnya, air ini juga layak minum."
Masih tidak ada masalah?
Randika merasa bahwa Roberto pasti memiliki trik lain, dia pun bertanya. "Apakah ada kandungan yang tidak bisa dideteksi dengan alatmu?"
"Tidak mungkin." Adrian menggelengkan kepalanya dan duduk di depan Randika. "Pak, mesin kita itu adalah keluaran terbaru dan yang paling canggih. Tidak ada kandungan aneh di dalam air, tetapi proporsi beberapa elemen sedikit lebih tinggi daripada biasanya."
"Dan apa yang akan terjadi kalau kita mengkonsumsinya?" Randika menegang.
"Tidak apa-apa, namanya air tetap air pak, tidak mungkin itu membunuh kita."
Mendengar kata-kata Adrian ini, hati Randika semakin ragu.
Setelah itu, orang-orang mulai berdatangan kembali dan ruangan ini pun kembali sibuk.
Setelah beberapa saat, akhirnya waktu jam pulang kantor telah tiba.
Randika kembali ke rumah bersama Inggrid.
Hannah awalnya berada di kantornya Inggrid, tetapi anak itu pergi beberapa waktu yang lalu. Karena dia tidak ada kelas sama sekali, dia keluyuran tanpa henti.
"Apakah kamu capek hari ini?" Randika yang duduk di samping kursi pengemudi itu melirik Inggrid.
"Tidak terlalu." Inggrid tersenyum. "Akhir-akhir ini aku tidak perlu melakukan kunjungan bisnis, para klien yang sering datang ke tempat kita."
"Baguslah kalau begitu, kalau kamu capek nanti aku pijat."
"Memangnya kamu bisa memijat?" Inggrid terlihat kaget.
"Kenapa? Apa kamu mau mencobanya?"
"Boleh saja." Inggrid mengangguk.
Sesampainya mereka di rumah, Randika membuka pintu dan melihat sosok Hannah yang duduk di sofa dengan santai. Lagi-lagi perempuan satu ini memakai pakaian yang minum dan pendek.
"Kak Randika, kak Inggrid, akhirnya kalian kembali!" Hannah tersenyum, suaranya tidak begitu jelas karena dia sedang sibuk makan es krim.
Randika menghela napasnya, adik iparnya ini hidupnya santai sekali.
Inggrid lalu berkata. "Han, dudukmu itu kayak laki-laki lho, coba kamu lebih hati-hati lagi."
"Tapi ini postur duduk kak Randika selama ini." Balasnya.
Randika membeku di tempat, dia hampir muntah seteguk darah segar. Kenapa ujung-ujungnya dia yang salah?
Inggrid melirik Randika dan memarahinya. "Kamu juga, yang sopan kalau duduk."
"Iya…" Randika dengan cepat menganggukkan kepalanya.
Setelah itu, Inggrid naik ke atas dan bersiap untuk mandi.
Karena akhir-akhir ini cuacanya panas, Inggrid sering berkeringat dan tubuhnya lengket oleh keringat. Jadi biasanya setelah pulang dari kerja, dia selalu mandi.
Randika duduk di samping Hannah dan mengambil es krim yang masih terbungkus di atas meja.
"Kak, mau apa kamu?"
"Aku juga kepengin es krim, memangnya kenapa?" Randika terlihat bingung.
"Jangan makan punyaku, ambil sendiri di kulkas." Balas Hannah sambil tersenyum.
"Jangan pelit-pelit begitu." Randika membuka bungkusnya dan menggigitnya sekali, sensasi dingin ini memang menyegarkan.
"Tapi… itu satu-satunya yang rasa strawberry." Kata Hannah dengan wajah yang depresi.
Randika menggaruk-garuk kepalanya. "Ya sudah ini, ambilah."
"Tidak mau, kan sudah kak Randika gigit." Hannah dengan cepat menolak.
"Ya sudah, aku makan kalau begitu." Randika kembali menggigit es krim batangnya.
"Kak Randika memang jahat." Hannah mulai kehilangan kesabarannya.
Randika menelas es krimnya itu, nada suaranya sedikit bangga. "Terkadang hidup itu penuh dengan cobaan dan tidak berjalan seperti yang kita mau."
"Alasan saja!" Hannah memalingkan wajahnya dan kembali menonton TV.
Keduanya lalu melihat TV, terkadang mereka bercerita tentang keseharian mereka.
"Omong-omong kak, kami besok mau tamasya, apakah kakak mau ikut?" Tanya Hannah sambil tersenyum.
Undangan Hannah seperti ini selalu ada udang di balik batu, sepertinya dia diajak untuk menjadi tukang angkut lagi. Awalnya dia ingin menolak tetapi Randika tiba-tiba kepikiran sesuatu.
"Han, sepertinya pemilihan waktu untuk tamasya ini kurang tepat. Kenapa tidak menunggu beberapa hari lagi dan menunggu cuacanya menjadi bagus?" Tanya Randika.
"Teman-temanku yang mengusulkan. Toh kita kan punya banyak waktu luang, jadi mereka semua ingin bermain." Jawab Hannah.
"Apakah Roberto ikut?" Tanya Randika.
"Tentu saja, sepertinya dia yang mengusulkan ide tamasya ini. Dia juga mengundang murid lainnya dari jurusan yang lain. Jadi sebagai pemimpin, dia pasti ikut!" Hannah menjadi sedikit bersemangat. "Dan rencananya kali ini, kita akan mengunjungi kuil bersejarah! Aku belum pernah melihat tempat bersejarah sebelumnya."
Roberto yang mengatur tamasya ini?
"Jadi bagaimana kak, apakah kak Randika tertarik? Lagipula besok kan sabtu, kakak pasti nganggur di kantor bukan? Jadi lebih baik ikut aku saja." Kata Hannah dengan semangat.
"Tentu saja, aku besok ikut." Randika tersenyum.
Mendengar persetujuan Randika, Hannah terkejut untuk sesaat tetapi dia langsung menjadi bersemangat. "Serius kak? Kak Randika tidak bohong kan?"
"Memangnya kapan aku pernah bohong?" Randika kembali memakan es krimnya. Kali ini dia berusaha mengikuti Hannah untuk melindunginya dari bahaya yang tidak perlu. Terlebih lagi, dia merasa bahwa Roberto memiliki suatu rencana di kegiatan kali ini. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya.
...…
Keesokan harinya, Randika dan Hannah berangkat bersama-sama.
Untuk perjalanan kali ini, para peserta akan berkumpul terlebih dahulu di depan sekolah mereka. Baru setelah itu, mereka naik bis dan berangkat ke daerah Gunung Batu Jaya karena kuil yang mereka kunjungi dekat dengan gunung tersebut.
Ketika mereka berdua sampai di depan sekolah, rupanya hampir semua orang sudah berkumpul.
"Han!" Stella melambai ketika melihat sosok Hannah yang datang. Keduanya lalu bergandengan tangan seolah-olah mereka adalah sahabat terbaik di dunia.
Pada saat ini, Roberto datang menghampiri dan tersenyum pada Randika. "Apa kakak juga ikut?"
Randika mengangguk sambil tersenyum. "Aku dipaksa adikku itu, aku tidak punya pilihan."
"Tidak apa-apa, semakin ramai semakin meriah." Roberto lalu berpamitan dan pergi. Randika mengerutkan dahinya ketika dia memperhatikan gerak gerik Roberto. Setelah beberapa saat, Randika menyimpulkan bahwa dia bukanlah pembunuh yang bertarung dengannya.
Tujuannya hari ini ikut adalah menentukan apakah Roberto adalah pria bertopeng yang telah melakukan berbagai pembunuhan di kota ini atau tidak.
Setelah beberapa saat, akhirnya semua orang telah berkumpul. Orang terakhir yang datang telah berlarian sekuat tenaganya, untungnya saja dia tepat waktu dan semua orang tidak memarahinya.
"Karena semua orang sudah ada di sini, sebaiknya kita cepat berangkat." Kata Roberto sambil tersenyum, dia lalu menuntun semua orang ke bis yang sudah menunggu mereka.
"Saatnya berangkat!" Semuanya antusias dengan perjalanan mereka, semuanya berjalan ke bis dengan wajah yang gembira.
Pada saat mereka berjalan, terlihat sebuah truk bermuatan yang melaju ke arah mereka.
Truk tersebut membawa pipa-pipa besi dan melaju dengan kecepatan biasa. Randika melihat ke atas dan menyadari bahwa pipa-pipa itu terikat dengan erat.
Dia sama sekali tidak peduli dan terus berjalan. Tetapi tiba-tiba, ada suara seperti tali yang terputus datang dari arah truk. Pipa-pipa tersebut mulai berjatuhan ke samping!
Dan sialnya, Randika dkk berada di jalur pipa-pipa jatuh tersebut!