Chapter 367: Siswa Asing
Setelah sampai di perusahaan, Randika langsung masuk ke laboratorium.
Melihat kehadiran Randika, semua karyawan segera menyambutnya.
"Pak Randika selamat pagi."
"Tumben masuk pagi pak?"
Semua orang menyapa sambil tersenyum, Randika juga membalas sapaan mereka satu per satu. Namun setelah memeriksa seluruh ruangan, Randika tidak dapat menemukan sosok Viona.
Setelah bekerja untuk beberapa saat, Viona tetap tidak terlihat sama sekali.
"Semuanya hentikan pekerjaan kalian dan tolong perhatikan saya." Kata Kelvin dengan suara keras.
"Kita mendapatkan sampel baru dari bu Inggrid untuk kita kembangkan. Kesuksesan kita kali ini tergantung apakah kita bisa memenuhi kuota dengan waktu yang sudah ditentukan oleh bu Inggrid." Kelvin menatap semua bawahannya. "Seperti biasa, setelah kuota ini tercapai, akan ada bonus dan liburan. Jadi apakah kalian semua bisa menghadapi rintangan ini?"
"Bisa!" Semua orang langsung satu suara. Mendengar kata bonus, semuanya menjadi bersemangat karena bonus yang dimaksud bernilai 3-4x dari gaji mereka.
"Baiklah kalau begitu, mari kita mulai. Aku akan membagi kalian dalam beberapa tim dan mengirimkan formula via email." Kata Kelvin. Dia lalu menoleh ke arah Randika sambil tersenyum. "Syukurlah pak Randika hari ini datang, kami sangat terbantu."
"Di mana Viona?" Tanya Randika dengan santai.
"Viona ijin sakit untuk beberapa hari. Kalau pak Randika khawatir, saya tidak melarang bapak untuk mengunjunginya kok." Kata Kelvin sambil tersenyum.
Randika tidak peduli dengan sarkas Kelvin, dia hanya peduli dengan Viona. Sepertinya kejadian semalam itu berdampak besar baginya. Kemungkinan besar Viona sedang memikirkan bagaimana dia harus menghadapi kenyataan ini.
Dasar perempuan bodoh….
Randika hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam.
Selama seharian penuh, Randika dan para ahli parfum ini bekerja dengan giat untuk mengembangkan produk baru mereka.
Dengan bantuan Randika, proses mereka berjalan dengan cepat.
Dalam sekejap, waktu sudah memasuki siang hari. Tidak lama kemudian, HP milik Randika bergetar.
Randika mengintip HPnya dan ternyata yang meneleponnya adalah Hannah.
"Kenapa?"
"Antarkan aku ke sekolah." Kata Hannah dari balik telepon.
"Bukankah kamu biasanya berangkat sendiri? Kenapa tiba-tiba aku harus mengantarmu?" Randika jelas bingung dengan permintaan adik iparnya ini.
"Terserah aku kan! Sudah, kak Randika mau antar atau tidak?" Suasana hati Hannah hari ini benar-benar buruk.
Randika hanya bisa tersenyum pahit. "Baiklah, baiklah, tunggu aku sebentar."
Adik iparnya hari ini benar-benar galak pada dirinya.
Setelah berbicara dengan Kelvin, Randika meninggalkan perusahaan. Di perjalanannya menuju rumah, Randika berpikir mengenai Hannah. Apakah kejadian semalam telah membuat sifat Hannah berubah drastis?
Tetapi kalau dilihat dari sikapnya tadi pagi, apakah akhirnya Hannah telah membulatkan tekadnya? Berarti apakah ini waktunya mencicipi buah terlarang?
Memikirkan hal ini, Randika benar-benar bersemangat.
Tidak lama kemudian, Randika akhirnya tiba dan masuk ke ruang tamu sambil tersenyum. Dia lalu menemukan Hannah sedang duduk di sofa sambil memakan es krim dan menonton TV.
Hannah menatap Randika yang baru saja pulang, dia lalu berkata padanya. "Kak, apa kakak ke sini naik mobilnya kak Inggrid?"
Randika terkejut. "Buat apa aku meminjam mobil kakakmu itu?"
"Terus kak Randika mau mengantar aku naik apa?"
"Bukankah kamu ada mobil?"
"Mobilku rusak dan dibawa pergi sama tukang bengkelnya." Kata Hannah sambil memakan es krimnya.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya dengan jelas di telepon tadi?" Randika geleng-geleng.
"Hah? Bukankah maksudku itu sudah jelas? Aku kan cuma ingin diantarkan ke sekolah jadi jelas aku butuh nunutan bukan? Kalau tidak butuh bantuan jelas aku sudah naik mobilku sendiri ke sekolah seperti biasa. Masa kak Randika tidak bisa mengetahui hal yang jelas seperti ini?" Kata Hannah dengan nada santai.
Randika merasa ingin pingsan.
......
Akhirnya, Randika memanggil taksi dan mengantarkan Hannah ke kuliahannya.
Tentu saja, Randika bertanya pada Hannah kenapa dia tidak naik taksi saja tadi. Menanggapi pertanyaan ini, Hannah hanya mengatakan bahwa dia tadi tidak kepikiran. Jawaban ini membuat Randika ingin muntah darah.
Setelah berduaan di taksi selama beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di Universitas Cendrawasih.
"Kak, antarkan aku sampai asrama." Kata Hannah sambil tersenyum.
"Yah mumpung aku di sini, baiklah." Randika lalu mengantarkan Hannah ke asrama miliknya.
Ketika mereka berdua berjalan dengan santai, Hannah menatap Randika. "Kak, apa kak Randika benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam?"
"Hmm? Iya aku tidak ingat apa-apa, sepertinya aku terlalu banyak minum." Kata Randika.
Hannah memperhatikan ekspresi Randika, tetapi dia tidak tahu apakah kakak iparnya ini berbohong atau tidak setelah melihat ekspresinya.
Setelah berjalan dari gerbang sekolah, Randika dan Hannah melewati sebuah lapangan sepak bola sebelum mencapai asramanya Hannah. Ketika mereka berdua melewati lapangan sepak bola tersebut, banyak orang sedang melihat pertandingan yang sedang berjalan.
"Maju terus! Kamu pasti bisa!" Teriak beberapa perempuan.
"Goal!! Hebat sekali orang itu."
"Siapa laki-laki itu? Sudah jago, ganteng lagi orangnya." Para perempuan tidak bisa menutupi semangat mereka ketika melihat lelaki keren yang barusan mencetak gol itu.
"Hei, hei, mainnya biasa saja. Lihat itu fans-fansmu menggila di pinggir." Salah satu teman dari pencetak goal itu menggoda temannya sambil geleng-geleng.
Di kala teriakan para perempuan itu terus terdengar, orang-orang masih penasaran siapakah lelaki tersebut. "Hei, siapa laki itu? Aku belum pernah melihatnya di sekolah ini sebelumnya."
"Iya, iya, aku sendiri tidak pernah melihatnya di sekolah ini." Kata temannya.
"Kalian ini lelaki bodoh, masa kalian tidak kenal lelaki keren seperti itu?" Kata salah satu perempuan yang merupakan fansnya itu.
Semua orang mulai menatap perempuan tersebut.
"Dia Roberto, dia barusan saja masuk ke sekolah kita 2 hari yang lalu untuk program pertukaran pelajar luar negeri." Kata perempuan tersebut.
"Tetapi wajahnya kayak orang lokal gitu." Orang-orang yang mendengarnya mulai penasaran.
Perempuan itu tidak marah, dia lalu membalas. "Dia itu anak dari politikus di kota kita jadi dia itu berdarah campuran. Wajahnya yang lokal itu tentu saja dari ayahnya."
Mendengar hal ini, orang-orang menganggukan kepalanya. Tidak heran wajahnya kayak bule-bule biasanya.
"Keluarga Roberto itu kaya raya, dia sendiri tampan dan baik hati. Dia itu seperti pangeran berkuda putih yang ada di film Disney." Perempuan itu menatap Roberto yang ada di lapangan dengan tatapan penuh asmara.
Semua orang hanya bisa tertawa ketika mendengar kata-kata itu, mana mungkin dia mau dengan perempuan sepertimu!
Di lapangan sepak bola, Roberto mengontrol bola dengan lihai. Tidak heran para perempuan mengaguminya.
Dengan tinggi 180 cm, baju seragamnya itu terlihat sesak karena otot-ototnya yang begitu besar. Terlebih lagi, ketika dia berlari, postur tubuhnya sudah seperti seekor macan tutul yang berlari. Dia melewati dua orang dengan sangat mudah, hal ini membuat orang-orang bersorak untuknya.
Pada saat yang sama, Hannah dan Randika baru saja melewati lapangan bola ini.
Roberto, yang sedang berlari mengecoh lawannya, tiba-tiba berhenti berlari. Dia kemudian menendang bola yang dia bawa itu ke atas hingga tinggi sekali.
"Salto?"
"Ayo Roberto, kamu pasti bisa!"
"Wah sudah seperti kapten Tsubasa aja pakai salto."
Orang-orang bersorak melihat aksi Roberto. Tetapi Roberto baru saja melihat Randika dan Hannah yang lewat.
Ketika bola itu sudah mencapai titiknya, Roberto mengayunkan kakinya. Tiba-tiba bola itu mendapatkan energi yang luar biasa dan melesat ke depan!
Namun, bola itu bukan mengarah pada gawang lawan, bola itu mengarah pada Randika dan Hannah!